Gaya kepemimpinan yang menggambarkan Rama ini merupakan sosok pemimpin yang lebih banyak berurusan dalam menangani langsung masyarakatnya. Sementara itu, Resi lebih cenderung sebagai tokoh spiritual karena sering mendekatkan diri kepada orangorang yang dituakan karena pengetahuan spiritualnya yang tinggi. Raja/Ponggawa cenderung memegang kebijakan tertinggi, panglima tertinggi pemegang kekuasaan, pemimpin perang, pemimpin kemiliteran, komandan militer, dan sering menunjukkan kepemimpinan kekuasaan/ pemerintahan. Walaupun pada dasarnya ketiganya merupakan sifat naluriah seorang raja/sultan, setidaknya dari sini kita dapat melihat bahwa ada satu atau dua yang paling mendominasi. Hal ini menjadi salah satu bagian penting sebab karya seni yang dihasilkan dalam periode kerajaan tidak bisa lepas dari sifat karya seninya itu sendiri yang cenderung feodal. Bagian kedua ialah tahapan pengelompokan hasil konten-konten yang telah diuraikan pada tahap pertama. Tahap ini dimulai dari pengelompokan kategori motif serta ekspresi gaya seni hias yang memengaruhinya. Lalu dihitung berdasarkan intensitas kemunculannya. Adanya perbandingan pendominasian inilah yang dapat mempermudah peneliti dalam melihat ‘gejala’ secara keseluruhan di dalamnya. Tahap ketiga ialah tahap analisis unsur estetis morfologi. Hal ini untuk dapat mengetahui letak kesinambungan dan perubahan pada kedua artefak kereta kencana yang memiliki asal-usul mirip tersebut. Terlepas dari anggapan bahwa naga merupakan simbol kebudayaan Cina, naga yang direpresentasikan dalam perupaan Paksi Naga Liman. ini cenderung mendapat pengaruh dari gaya seni Hindu. Hal ini ditandai dengan adanya penggunaan mahkota di kepalanya dan sumping di sisi telinganya. Gambar 1 merupakan contoh perbandingan perupaan naga Jawa dengan naga Tiongkok yang menjadi kecenderungan adanya dasar gagasan dalam merepresentasikan simbol naga pada Paksi Naga Liman. Naga dianggap perwakilan lambang dari dunia bawah. Dalam pandangan masyarakat Cirebon, naga kerap diidentikkan dengan sifat yang rakus. Oleh karena itu, manusia seharusnya menghindari sifat-sifat dan hawa nafsu seperti itu. Bila hal ini dikaitkan dengan sosok raja, simbol naga tersebut memiliki makna bahwa masyarakat berharap akan kehadiran seorang raja yang mampu menghindarkan diri dari sifat-sifat rakus, tamak, dan sebagainya. Selain itu, seorang raja juga hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan keluhan rakyatnya. Dengan kata lain, apa yang diharapkan oleh masyarakat ialah seorang raja sebagai pelindung dan pengayom. Dalam konsep kepemimpinan TriTangtu, hal ini termasuk dalam kategori Rama sekaligus Raja/Ponggawa. Adanya atribut mahkota naga raja tersebut seolah hendak menunjukkan eksistensi diri raja sebagai pemegang kekuasaan penuh. Motif liman atau gajah pada Paksi Naga Liman nampak pada bagian hidung/ belalai dan gading. Liman dianggap sebagai salah satu binatang darat yang mewakili adanya sistem kosmos alam tengah/ dunia tengah. Pengaruh motif hias gajah pada Paksi Naga Liman ini sendiri nyatanya dipengaruhi oleh seni hias Hindu Budha yang dibawa oleh India. Simbol liman dianggap sebagai sosok ganesha. Sifat ganesha digambarkan dalam produk-produk artefak yang ada di lingkungan keraton, memiliki konten lebih mengacu pada dewa penolak bala, dewa keselamatan, sekaligus penghalau rintangan. Sosoknya ini sering dikaitkan dengan tokoh yang bersifat wira, gagah berani, mampu mematahkan barisan sehingga layak disebut sebagai pemimpin para gana atau raksasa. Dalam konsep kepemimpinan, motif liman ini cenderung menekankan pada kategori sosok pemimpin raja/ ponggawa. Hal ini juga berkaitan dengan karakteristik Pangeran Cakrabuana yang memang memiliki dasar sebagai seorang panglima militer. Perupaan trisula yang terdapat pada artefak kereta kencana Paksi Naga Liman maupun Singabarong pada dasarnya memiliki pengaruh besar dari kepercayaan umat Hindu. Hal ini karena trisula dianggap sebagai senjata utama . Dewa Siwa. Senjata jenis ini mempunyai tiga mata tombak yang berfungsi sebagai senjata penyerangan maupun untuk pertahanan. Senjata ini dianggap sebagai lambang tiga sifat Siwa, yakni sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur dari alam semesta. Hal ini juga tak lepas dari adanya peningkatan kualitas spiritual dalam diri yang tecermin melalui pesan bahwa seorang manusia khususnya raja/sultan harus memiliki cipta, rasa, dan karsa yang tajam. Motif trisula mendukung adanya sosok pemimpin yang tergolong dalam kategori raja/ ponggawa yang juga memiliki sifat Resi. Dalam pewayangan, biasanya, hiasan mahkota seperti ini sering dipakai dan dinamakan dengan garuda mungkur. Di sini terlihat adanya pengaruh budaya Hindu yang cukup besar/kuat melalui perupaan mahkota wayang yang telah digunakan sejak masa-masa sebelumnya. Adanya atribut mahkota garuda mungkur ini menjadi simbol kebesaran, kekuasaan, dan keagungan. Selain garuda mungkur, pada bagian mahkota ini juga dapat terlihat adanya motif sumping dan zamang yang mengelilinginya. Sumping merupakan hiasan pada daun telinga yang difungsikan sebagai penjepit mahkota atau zamang. Zamang pada Paksi Naga Liman ini sendiri memiliki tingkatan yang menunjukkan status raja sekaligus sosok satria yang berwajah . luruh. Dengan demikian, mahkota ini mengarah pada adanya sosok kategori pemimpin raja/ponggawa. Bentuk sayap dan badan pada Paksi Naga Liman tampaknya ada kecenderungan yang lebih menekankan pada penggambaran buraq bersayap, bentuk binatang mitologi Persia (Islam). Bentuk buraq dan paksi yang menampilkan rupa seperti seekor kuda sembrani bersayap ini dianggap menjadi simbol adanya kekuatan, kesucian, keabadian, dan perlindungan. Bila dikaitkan dengan konsep Tri-Tangtu, menyiratkan adanya sosok pemimpin yang loyal, mampu melindungi dan mengayomi, serta mendengarkan secara langsung keluhan masyarakatnya (Rama). Motif kala yang menghiasi seni hias Paksi Naga Liman ini merupakan hasil campur tangan dari seni pada zaman kerajaan HinduBudha. Kala atau yang disebut dengan Kirttimuka ini digambarkan sebagai muka seorang raksasa dengan bentuk mata yang melotot, mulut menyeringai, gigi bertaring, dan dengan lidah yang menjulur keluar. Gambar itu dipandang memiliki kekuatan magis yang dapat memberi kehidupan serta mampu menolak hal-hal yang bersifat jahat. Dikaitkan dengan konsep TriTangtu, masyarakat berharap bahwa rajanya mampu menolak segala hal. yang buruk. Hal ini berupa ancamanancaman tertentu yang dapat menggangu kenyamanan maupun ketenangan hidup rakyatnya. Dengan kata lain, seorang raja sudah selayaknya melindungi penuh rakyatnya sehingga rakyat pun merasa aman dan dapat mendedikasikan dirinya kepada raja (sifat raja/ponggawa). Motif flora dalam ragam hias yang ada pada kereta kencana Paksi Naga Liman ini salah satunya dapat dilihat pada bagian singgasana/ dudukan kereta raja. Bentuk patra ini memiliki kesan bentuk yang luwes, lemah gemulai, dan bergerak lamban. Di Keraton Cirebon, bunga teratai menjadi lambang kebesaran dalam ketatanegaraan. Perwujudan ini sering dianggap sebagai bentuk kesempurnaan. Pada dasarnya baik dalam agama Hindu maupun Budha, bunga teratai merupakan bunga yang dianggap suci dan memiliki konotasi religius. Seorang manusia dalam menjalani kehidupannya ini hendaknya selalu berusaha untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan tidak terpengaruh kesenangan duniawi. Dengan kata lain, motif ini berkaitan erat dengan nilai-nilai seorang raja sebagai Resi. Motif naga dalam tradisi seni hias Jawa masih banyak yang menggunakan ‘figur’ naga (pengaruh Hindu Budha). Namun, seiring dengan perkembangan dan diterimanya kembali seni budaya
Rabu, 18 Desember 2019
“GAYA HIAS SINGABARONG DAN PAKSI NAGA LIMAN KERETA KESULTANAN CIREBON “
Gaya kepemimpinan yang menggambarkan Rama ini merupakan sosok pemimpin yang lebih banyak berurusan dalam menangani langsung masyarakatnya. Sementara itu, Resi lebih cenderung sebagai tokoh spiritual karena sering mendekatkan diri kepada orangorang yang dituakan karena pengetahuan spiritualnya yang tinggi. Raja/Ponggawa cenderung memegang kebijakan tertinggi, panglima tertinggi pemegang kekuasaan, pemimpin perang, pemimpin kemiliteran, komandan militer, dan sering menunjukkan kepemimpinan kekuasaan/ pemerintahan. Walaupun pada dasarnya ketiganya merupakan sifat naluriah seorang raja/sultan, setidaknya dari sini kita dapat melihat bahwa ada satu atau dua yang paling mendominasi. Hal ini menjadi salah satu bagian penting sebab karya seni yang dihasilkan dalam periode kerajaan tidak bisa lepas dari sifat karya seninya itu sendiri yang cenderung feodal. Bagian kedua ialah tahapan pengelompokan hasil konten-konten yang telah diuraikan pada tahap pertama. Tahap ini dimulai dari pengelompokan kategori motif serta ekspresi gaya seni hias yang memengaruhinya. Lalu dihitung berdasarkan intensitas kemunculannya. Adanya perbandingan pendominasian inilah yang dapat mempermudah peneliti dalam melihat ‘gejala’ secara keseluruhan di dalamnya. Tahap ketiga ialah tahap analisis unsur estetis morfologi. Hal ini untuk dapat mengetahui letak kesinambungan dan perubahan pada kedua artefak kereta kencana yang memiliki asal-usul mirip tersebut. Terlepas dari anggapan bahwa naga merupakan simbol kebudayaan Cina, naga yang direpresentasikan dalam perupaan Paksi Naga Liman. ini cenderung mendapat pengaruh dari gaya seni Hindu. Hal ini ditandai dengan adanya penggunaan mahkota di kepalanya dan sumping di sisi telinganya. Gambar 1 merupakan contoh perbandingan perupaan naga Jawa dengan naga Tiongkok yang menjadi kecenderungan adanya dasar gagasan dalam merepresentasikan simbol naga pada Paksi Naga Liman. Naga dianggap perwakilan lambang dari dunia bawah. Dalam pandangan masyarakat Cirebon, naga kerap diidentikkan dengan sifat yang rakus. Oleh karena itu, manusia seharusnya menghindari sifat-sifat dan hawa nafsu seperti itu. Bila hal ini dikaitkan dengan sosok raja, simbol naga tersebut memiliki makna bahwa masyarakat berharap akan kehadiran seorang raja yang mampu menghindarkan diri dari sifat-sifat rakus, tamak, dan sebagainya. Selain itu, seorang raja juga hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan keluhan rakyatnya. Dengan kata lain, apa yang diharapkan oleh masyarakat ialah seorang raja sebagai pelindung dan pengayom. Dalam konsep kepemimpinan TriTangtu, hal ini termasuk dalam kategori Rama sekaligus Raja/Ponggawa. Adanya atribut mahkota naga raja tersebut seolah hendak menunjukkan eksistensi diri raja sebagai pemegang kekuasaan penuh. Motif liman atau gajah pada Paksi Naga Liman nampak pada bagian hidung/ belalai dan gading. Liman dianggap sebagai salah satu binatang darat yang mewakili adanya sistem kosmos alam tengah/ dunia tengah. Pengaruh motif hias gajah pada Paksi Naga Liman ini sendiri nyatanya dipengaruhi oleh seni hias Hindu Budha yang dibawa oleh India. Simbol liman dianggap sebagai sosok ganesha. Sifat ganesha digambarkan dalam produk-produk artefak yang ada di lingkungan keraton, memiliki konten lebih mengacu pada dewa penolak bala, dewa keselamatan, sekaligus penghalau rintangan. Sosoknya ini sering dikaitkan dengan tokoh yang bersifat wira, gagah berani, mampu mematahkan barisan sehingga layak disebut sebagai pemimpin para gana atau raksasa. Dalam konsep kepemimpinan, motif liman ini cenderung menekankan pada kategori sosok pemimpin raja/ ponggawa. Hal ini juga berkaitan dengan karakteristik Pangeran Cakrabuana yang memang memiliki dasar sebagai seorang panglima militer. Perupaan trisula yang terdapat pada artefak kereta kencana Paksi Naga Liman maupun Singabarong pada dasarnya memiliki pengaruh besar dari kepercayaan umat Hindu. Hal ini karena trisula dianggap sebagai senjata utama . Dewa Siwa. Senjata jenis ini mempunyai tiga mata tombak yang berfungsi sebagai senjata penyerangan maupun untuk pertahanan. Senjata ini dianggap sebagai lambang tiga sifat Siwa, yakni sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur dari alam semesta. Hal ini juga tak lepas dari adanya peningkatan kualitas spiritual dalam diri yang tecermin melalui pesan bahwa seorang manusia khususnya raja/sultan harus memiliki cipta, rasa, dan karsa yang tajam. Motif trisula mendukung adanya sosok pemimpin yang tergolong dalam kategori raja/ ponggawa yang juga memiliki sifat Resi. Dalam pewayangan, biasanya, hiasan mahkota seperti ini sering dipakai dan dinamakan dengan garuda mungkur. Di sini terlihat adanya pengaruh budaya Hindu yang cukup besar/kuat melalui perupaan mahkota wayang yang telah digunakan sejak masa-masa sebelumnya. Adanya atribut mahkota garuda mungkur ini menjadi simbol kebesaran, kekuasaan, dan keagungan. Selain garuda mungkur, pada bagian mahkota ini juga dapat terlihat adanya motif sumping dan zamang yang mengelilinginya. Sumping merupakan hiasan pada daun telinga yang difungsikan sebagai penjepit mahkota atau zamang. Zamang pada Paksi Naga Liman ini sendiri memiliki tingkatan yang menunjukkan status raja sekaligus sosok satria yang berwajah . luruh. Dengan demikian, mahkota ini mengarah pada adanya sosok kategori pemimpin raja/ponggawa. Bentuk sayap dan badan pada Paksi Naga Liman tampaknya ada kecenderungan yang lebih menekankan pada penggambaran buraq bersayap, bentuk binatang mitologi Persia (Islam). Bentuk buraq dan paksi yang menampilkan rupa seperti seekor kuda sembrani bersayap ini dianggap menjadi simbol adanya kekuatan, kesucian, keabadian, dan perlindungan. Bila dikaitkan dengan konsep Tri-Tangtu, menyiratkan adanya sosok pemimpin yang loyal, mampu melindungi dan mengayomi, serta mendengarkan secara langsung keluhan masyarakatnya (Rama). Motif kala yang menghiasi seni hias Paksi Naga Liman ini merupakan hasil campur tangan dari seni pada zaman kerajaan HinduBudha. Kala atau yang disebut dengan Kirttimuka ini digambarkan sebagai muka seorang raksasa dengan bentuk mata yang melotot, mulut menyeringai, gigi bertaring, dan dengan lidah yang menjulur keluar. Gambar itu dipandang memiliki kekuatan magis yang dapat memberi kehidupan serta mampu menolak hal-hal yang bersifat jahat. Dikaitkan dengan konsep TriTangtu, masyarakat berharap bahwa rajanya mampu menolak segala hal. yang buruk. Hal ini berupa ancamanancaman tertentu yang dapat menggangu kenyamanan maupun ketenangan hidup rakyatnya. Dengan kata lain, seorang raja sudah selayaknya melindungi penuh rakyatnya sehingga rakyat pun merasa aman dan dapat mendedikasikan dirinya kepada raja (sifat raja/ponggawa). Motif flora dalam ragam hias yang ada pada kereta kencana Paksi Naga Liman ini salah satunya dapat dilihat pada bagian singgasana/ dudukan kereta raja. Bentuk patra ini memiliki kesan bentuk yang luwes, lemah gemulai, dan bergerak lamban. Di Keraton Cirebon, bunga teratai menjadi lambang kebesaran dalam ketatanegaraan. Perwujudan ini sering dianggap sebagai bentuk kesempurnaan. Pada dasarnya baik dalam agama Hindu maupun Budha, bunga teratai merupakan bunga yang dianggap suci dan memiliki konotasi religius. Seorang manusia dalam menjalani kehidupannya ini hendaknya selalu berusaha untuk mencapai kesempurnaan spiritual dan tidak terpengaruh kesenangan duniawi. Dengan kata lain, motif ini berkaitan erat dengan nilai-nilai seorang raja sebagai Resi. Motif naga dalam tradisi seni hias Jawa masih banyak yang menggunakan ‘figur’ naga (pengaruh Hindu Budha). Namun, seiring dengan perkembangan dan diterimanya kembali seni budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar