·
Istilah Bedhaya
Rimbe
Bedhaya Rimbe merupakan
sebuah tarian resmi kenegaraan dari kesultanan Kanoman di Cirebon yang penuh dengan filosofi dakwah
Islam serta mengadopsi beberapa bagian dari persfektif Sunda dalam gerakannya. Tari Bedaya Rimbe merupakan salah satu
bentuk tarian yang disusun oleh Sultan Kanoman VIII Pangeran Raja Adipati (PRA)
Dzoelkarnaen. Tarian Bedaya Rimbe termasuk tarian
sakral bagi kesultanan Kanoman karena ketatnya aturan
penyajian dan tata caranya termasuk bagi penarinya.
Pada tahun 1960an dari keterangan Pangeran Yusuf
Dendabrata, tari Bedaya Rimbe pernah dipentaskan di Pura (istana)
Mangkunegara, Banjar sari, Surakarta dimana
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara
VIII Hamidjojo Saroso memberikan jam tangan berlapis emas kepada para
penarinya setelah pementasan selesai. Pada
tahun 1967 Sultan Kanoman ke sepuluh, Pangeran Raja Adipati (PRA) Muhammad
Nurus mempersembahkan tari Bedaya Rimbe kepada para tamu dari Prancis, penari
yang membawakannya adalah mimi (bahasa
Indonesia: Ibu) Ratu Nuraeni dan Ratu Yohana
Filosofi dasar dari tarian Bedaya Rimbe adalah nilai
tradisi lama (termasuk Sunda) yang dibalut dengan sudut pandang keislaman, enam
penari melambangkan rukum iman dalam ajaran Islam yaitu percaya kepada
Allah swt, kepada malaikat, kepada kitab-kitab Allah swt, kepada
rasul-rasulnya, kepada hari kiamat dan kepada qada serta qadar. Lilin dan
cahaya yang dibawa oleh para penarinya merupakan manifestasi dari simbol rukun iman sebagai
penerang manusia dalam menjalani kehidupannya mencari ridho Allah swt.
·
Tarian Bedhaya Rimbe
Sementara budaya sunda (sunda wiwitan) diwakilkan
dalam fase tarian yang berjumlah tiga fase, bilangan bilangan seperti 3, 6, 12
dan seterusnya erat kaitannya dengan filosofi Tri Tangtu dalam masyarakat
Sunda bahwa ketika manusia mengarungi hidupnya dimasyarakat dia tidak hanya
menyandarkan pada dirinya sendiri, namun juga pada orang lain dan Gusti yang
kuasa, yang dalam Bedaya Rimbe implemetasinya ditujukan pada mengikuti ajaran
Allah swt (tuhan semesta alam)
Revitalisasi tari Bedaya
Rimbe dilakukan karena sudah tuanya para penari Bedaya Rimbe sehingga jarang
ditampilkan lagi, bahkan pihak kesultanan Kanoman sudah mulai tidak mengingat gerakannya.
Revitalisasi Bedaya Rimbe mencapai puncaknya ketika tarian ini akhirnya kembali
ditampilkan kepada masyarakat pada tahun 2006
Ketatnya berbagai aturan yang
diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas
menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna
simbolik aristokrasi. Sebagai satu artefak, maka rimbe memiliki nilai arkaik
dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana dan juga bernilai
historik.Persoalan bedaya rimbe yang tetap misteri selama lebih dari 30
tahunan, keterangan yang ada selama ini hanya merupakan serpihan catatan pendek
dari beberapa peneliti terdahulu
Tarian ini terakhir kali dipergelarkan
sekitar 1967, ketika Sultan Kanoman waktu itu kedatangan tamu negara dari
Prancis yang salah seorang penarinya adalah ibu Ratu Nuraeni dan kakak
kandungnya, ibu Ratu Yohana (almh). Bahkan, menurut P.H. Yusup Dendabrata (alm)
bahwa tari bedaya Rimbe pernah dipentaskan di Kraton Mangkunegaran awal 1960-an
dan saat itu rombongan dari Cirebon setelah selesai pentas, diberi cendera mata
berupa jam tangan berlapis emas dari Sultan Mangkunegaran.
·
Filosofis Bedhaya Rimbe
Sementara itu, apabila menelisik secara
keseluruhan mengenai bentuk struktur penyajian bedaya rimbe, maka akan terlihat
beberapa aspek yang tampak memancarkan aura yang tidak sekadar percikan
nilai-nilai artistik semata tetapi lebih jauh memiliki kedalaman makna
filosofis. Beberapa aspek yang dimaksud, antara lain jumlah penari yang enam
disebutkan merupakan manifestasi dari jumlah rukun iman dalam ajaran agama
Islam. Munculnya cahaya dari lilin yang dibawa oleh keenam penarinya merupakan
nilai dari setiap rukun yang menjadi cahaya penerang bagi manusia, dalam
menjalani kehidupannya baik dalam mencari rida Allah maupun dalam kehidupan
bermasyarakat. Begitu pula dengan jumlah tiga fase dalam struktur garap
penyajian tarinya, sangat simbolik.
Khususnya mengenai struktur penyajian
rimbe yang terbagi dalam tiga bagian, terlihat adanya upaya manifestasi
nilai-nilai budaya dari masa/periode zaman Sunda lama/wiwitan. Sumardjo
berpendapat bahwa angka 3 dan 6 dalam kosmologi masyarakat Sunda lama yang
menganut tata nilai berazaskan Tri Tangtu memiliki arti yang penting dan
spesifik. Kalau di Jawa dikenal bilangan penting seperti 4, 8, 16, 32, dan
seterusnya, maka dalam masyarakat Sunda bilangan penting berupa 3, 6, 12, 24,
dan seterusnya.
Jika demikian adanya, maka kita bisa
membaca kosmologi masyarakat Sunda yang lebih dalam dan komprehensif lewat
potret bedaya rimbe. Wacana ini semakin menarik dalam upaya membuka cakrawala
pandang masyarakat Jawa Barat (Cirebon, Priangan, dan lainnya) bahwa Jawa Barat
adalah Sunda, dan Sunda itu adalah kita, seluruh warga masyarakat Jawa Barat
dalam pengertian yang utuh.
Bedaya rimbe adalah satu
bentuk reportoar tari kelompok yang tumbuh dan berkembang di Keraton Kanoman
Cirebon, Jawa Barat. Repertoar tari ini bersumber pada cerita “Menak
Jayenggrana” yang dalam penampilannya ditarikan oleh enam orang penari putri.
Bedaya ini biasanya dipersembahkan dalam setiap upacara kenegaraan Keraton
Kanoman pada masa lalu.
Tarian Bedaya Rimbe digelar di Keraton Kanoman Cirebon, Jawa
Barat. Penampilan tari yang jarang digelar ini disambut baik oleh Raja, Sultan,
dan tamu yang hadir. Mereka kagum dengan tarian yang sakral ini, apalagi di
iringi oleh gamelan khas keraton Kanoman Cirebon. Ketatnya aturan yang
diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas
menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna
simbolik aristokrasi. Sebagai satu artefak, maka rimbe memiliki
nilai-nilai arkaik dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana dan juga
bernilai historik.
Ketatnya aturan
yang diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya,
jelas menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna
simbolik aristokrasi.
·
Misteri-misteri Bedhaya Rimbe
Persoalan bedaya
rimbe yang tetap menjadi misteri selama lebih dari 30 tahunan, cukup
menarik perhatian banyak peneliti, Keterangan yang ada selama ini hanya
merupakan serpihan catatan pendek dari beberapa peneliti terdahulu, seperti
dari Dr. Budding (seorang Belanda) 1842, Prof. Dr. R.M. Soedarsono (1972),
Theresia Hastuti (1991), dan R.A Nungki Kusumastuti (1980-an), mulai tampak
titik terang ketika penulis bertemu dengan P.A. Djoni Arkaningrat (Ngabei
Karawitan) di Keraton Kanoman 2000 yang lalu, ketika penulis melakukan
penelitian untuk keperluan tugas akhir program S-2 (tesis; Tayub Cirebonan) di
Pascasarjana UGM Yogyakarta.R.
Sementara itu,
apabila menelisik secara keseluruhan mengenai bentuk struktur penyajian bedaya
rimbe, terlihat ada beberapa aspek yang tampak memancarkan aura. Tidak sekadar
percikan nilai-nilai artistik semata tetapi lebih jauh memiliki kedalaman makna
filosofis. Beberapa aspek yang dimaksud, antara lain jumlah penari yang enam
disebutkan merupakan manifestasi dari jumlah rukun iman dalam ajaran agama
Islam. Munculnya cahaya dari lilin yang dibawa oleh ke enam penarinya,
merupakan nilai dari setiap rukun yang menjadi cahaya penerang bagi manusia
dalam menjalani kehidupan, baik dalam mencari ridha Allah maupun dalam
kehidupan bermasyarakat. Begitu pula dengan jumlah tiga fase dalam struktur
garap penyajian tarinya, terlihat sarat dengan simbolik.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar