Halaman

Minggu, 26 Januari 2020

Sejarah di balik Kesenian Bedhaya Rimbe Tarian Asal Keraton Kanoman Cirebon




·        Istilah Bedhaya Rimbe
Bedhaya Rimbe merupakan sebuah tarian resmi kenegaraan dari kesultanan Kanoman di Cirebon yang penuh dengan filosofi dakwah Islam serta mengadopsi beberapa bagian dari persfektif Sunda dalam gerakannya.  Tari Bedaya Rimbe merupakan salah satu bentuk tarian yang disusun oleh Sultan Kanoman VIII Pangeran Raja Adipati (PRA) Dzoelkarnaen.  Tarian Bedaya Rimbe termasuk tarian sakral bagi kesultanan Kanoman karena ketatnya aturan penyajian dan tata caranya termasuk bagi penarinya.
Pada tahun 1960an dari keterangan Pangeran Yusuf Dendabrata, tari Bedaya Rimbe pernah dipentaskan di Pura (istana) Mangkunegara, Banjar sari, Surakarta dimana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VIII Hamidjojo Saroso memberikan jam tangan berlapis emas kepada para penarinya setelah pementasan selesai.  Pada tahun 1967 Sultan Kanoman ke sepuluh, Pangeran Raja Adipati (PRA) Muhammad Nurus mempersembahkan tari Bedaya Rimbe kepada para tamu dari Prancis, penari yang membawakannya adalah mimi (bahasa Indonesia: Ibu) Ratu Nuraeni dan Ratu Yohana
Filosofi dasar dari tarian Bedaya Rimbe adalah nilai tradisi lama (termasuk Sunda) yang dibalut dengan sudut pandang keislaman, enam penari melambangkan rukum iman dalam ajaran Islam yaitu percaya kepada Allah swt, kepada malaikat, kepada kitab-kitab Allah swt, kepada rasul-rasulnya, kepada hari kiamat dan kepada qada serta qadar. Lilin dan cahaya yang dibawa oleh para penarinya merupakan manifestasi dari simbol rukun iman sebagai penerang manusia dalam menjalani kehidupannya mencari ridho Allah swt.
·        Tarian Bedhaya Rimbe
Sementara budaya sunda (sunda wiwitan) diwakilkan dalam fase tarian yang berjumlah tiga fase, bilangan bilangan seperti 3, 6, 12 dan seterusnya erat kaitannya dengan filosofi Tri Tangtu dalam masyarakat Sunda bahwa ketika manusia mengarungi hidupnya dimasyarakat dia tidak hanya menyandarkan pada dirinya sendiri, namun juga pada orang lain dan Gusti yang kuasa, yang dalam Bedaya Rimbe implemetasinya ditujukan pada mengikuti ajaran Allah swt (tuhan semesta alam)
Revitalisasi tari Bedaya Rimbe dilakukan karena sudah tuanya para penari Bedaya Rimbe sehingga jarang ditampilkan lagi, bahkan pihak kesultanan Kanoman sudah mulai tidak mengingat gerakannya. Revitalisasi Bedaya Rimbe mencapai puncaknya ketika tarian ini akhirnya kembali ditampilkan kepada masyarakat pada tahun 2006
Ketatnya berbagai aturan yang diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna simbolik aristokrasi. Sebagai satu artefak, maka rimbe memiliki nilai arkaik dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana dan juga bernilai historik.Persoalan bedaya rimbe yang tetap misteri selama lebih dari 30 tahunan, keterangan yang ada selama ini hanya merupakan serpihan catatan pendek dari beberapa peneliti terdahulu
Tarian ini terakhir kali dipergelarkan sekitar 1967, ketika Sultan Kanoman waktu itu kedatangan tamu negara dari Prancis yang salah seorang penarinya adalah ibu Ratu Nuraeni dan kakak kandungnya, ibu Ratu Yohana (almh). Bahkan, menurut P.H. Yusup Dendabrata (alm) bahwa tari bedaya Rimbe pernah dipentaskan di Kraton Mangkunegaran awal 1960-an dan saat itu rombongan dari Cirebon setelah selesai pentas, diberi cendera mata berupa jam tangan berlapis emas dari Sultan Mangkunegaran.
·        Filosofis Bedhaya Rimbe
Sementara itu, apabila menelisik secara keseluruhan mengenai bentuk struktur penyajian bedaya rimbe, maka akan terlihat beberapa aspek yang tampak memancarkan aura yang tidak sekadar percikan nilai-nilai artistik semata tetapi lebih jauh memiliki kedalaman makna filosofis. Beberapa aspek yang dimaksud, antara lain jumlah penari yang enam disebutkan merupakan manifestasi dari jumlah rukun iman dalam ajaran agama Islam. Munculnya cahaya dari lilin yang dibawa oleh keenam penarinya merupakan nilai dari setiap rukun yang menjadi cahaya penerang bagi manusia, dalam menjalani kehidupannya baik dalam mencari rida Allah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula dengan jumlah tiga fase dalam struktur garap penyajian tarinya, sangat simbolik.
Khususnya mengenai struktur penyajian rimbe yang terbagi dalam tiga bagian, terlihat adanya upaya manifestasi nilai-nilai budaya dari masa/periode zaman Sunda lama/wiwitan. Sumardjo berpendapat bahwa angka 3 dan 6 dalam kosmologi masyarakat Sunda lama yang menganut tata nilai berazaskan Tri Tangtu memiliki arti yang penting dan spesifik. Kalau di Jawa dikenal bilangan penting seperti 4, 8, 16, 32, dan seterusnya, maka dalam masyarakat Sunda bilangan penting berupa 3, 6, 12, 24, dan seterusnya.

Jika demikian adanya, maka kita bisa membaca kosmologi masyarakat Sunda yang lebih dalam dan komprehensif lewat potret bedaya rimbe. Wacana ini semakin menarik dalam upaya membuka cakrawala pandang masyarakat Jawa Barat (Cirebon, Priangan, dan lainnya) bahwa Jawa Barat adalah Sunda, dan Sunda itu adalah kita, seluruh warga masyarakat Jawa Barat dalam pengertian yang utuh.
          
          Bedaya rimbe adalah satu bentuk reportoar tari kelompok yang tumbuh dan berkembang di Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat. Repertoar tari ini bersumber pada cerita “Menak Jayenggrana” yang dalam penampilannya ditarikan oleh enam orang penari putri. Bedaya ini biasanya dipersembahkan dalam setiap upacara kenegaraan Keraton Kanoman pada masa lalu.

Tarian Bedaya Rimbe digelar di Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat. Penampilan tari yang jarang digelar ini disambut baik oleh Raja, Sultan, dan tamu yang hadir. Mereka kagum dengan tarian yang sakral ini, apalagi di iringi oleh gamelan khas keraton Kanoman Cirebon. Ketatnya aturan yang diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna simbolik aristokrasi. Sebagai satu artefak, maka rimbe memiliki nilai-nilai arkaik dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana dan juga bernilai historik.
Ketatnya aturan yang diberlakukan baik untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas menyiratkan kandungan filosofis yang bernilai ritual dan sarat akan makna simbolik aristokrasi.

·        Misteri-misteri Bedhaya Rimbe

            Persoalan bedaya rimbe yang tetap menjadi misteri selama lebih dari 30 tahunan, cukup menarik perhatian banyak peneliti, Keterangan yang ada selama ini hanya merupakan serpihan catatan pendek dari beberapa peneliti terdahulu, seperti dari Dr. Budding (seorang Belanda) 1842, Prof. Dr. R.M. Soedarsono (1972), Theresia Hastuti (1991), dan R.A Nungki Kusumastuti (1980-an), mulai tampak titik terang ketika penulis bertemu dengan P.A. Djoni Arkaningrat (Ngabei Karawitan) di Keraton Kanoman 2000 yang lalu, ketika penulis melakukan penelitian untuk keperluan tugas akhir program S-2 (tesis; Tayub Cirebonan) di Pascasarjana UGM Yogyakarta.R.
        Sementara itu, apabila menelisik secara keseluruhan mengenai bentuk struktur penyajian bedaya rimbe, terlihat ada beberapa aspek yang tampak memancarkan aura. Tidak sekadar percikan nilai-nilai artistik semata tetapi lebih jauh memiliki kedalaman makna filosofis. Beberapa aspek yang dimaksud, antara lain jumlah penari yang enam disebutkan merupakan manifestasi dari jumlah rukun iman dalam ajaran agama Islam. Munculnya cahaya dari lilin yang dibawa oleh ke enam penarinya, merupakan nilai dari setiap rukun yang menjadi cahaya penerang bagi manusia dalam menjalani kehidupan, baik dalam mencari ridha Allah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula dengan jumlah tiga fase dalam struktur garap penyajian tarinya, terlihat sarat dengan simbolik.

Sumber:
3.            https://id.wikipedia.org/wiki/Bedaya_Rimbe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar