Penggunaan motif
singa pada singabarong ini perlu dikaji terlebih dahulu apakah motif singa
tersebut merujuk pada seni hias pengaruh Hindu- Budha ataukah representasi dari
singa yang dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa.
Bila dilihat
dari gejala dan urutan historis yang terjadi dpada abad ke- 16 sudah mulai
terasa pengaruh seni hias Tiongkok. Berdasarkan penganalisisan dari segi
pendekatan gaya, tampaknya bentuk singa pada kereta singabarong ini cukup
memiliki perbedaan yang jauh dengan perupaan singa yang mendapat pengaruh seni
hias Hindu- Budha.
Hal ini kemudian
memperkuat adanya persepsi bahwa motif singa yang ada pada singabarong ini
cenderung didasari oleh adanya pengaruh dari gaya seni Tiongkok. Singabarong
pun dilengkapi atribut (kalung) yang mirip dengan bentuk kalung yang dipakai
oleh singa Tiongkok.
Kalung tersebut seolah menandakan bahwa
binatang buas ini telah dipelihara dan dikendalikan oleh manusia, dalam hal ini
sang raja. Keberadaan singa ini sering diidentikkan dengan simbol keberanian,
kekuatan, kewibawaan, kekuasaan, dan kebangsawanan (simbol status) kategori
pemimpin raja/ponggawa.
Sebagai
perwakilan simbol dunia atas, kehadiran ragam hias burung selalu disandingkan
dengan perlambangan dunia bawah dan tengah. Hal ini terkait dengan pandangan
monodualistis/ dualisme dwitunggal. Ornamen yang dijadikan penghias sayap
singabarong ini dari segi bentuk cenderung lebih mengarah pada representasi
sayap garuda yang mendapat pengaruh seni hias Hindu-Budha.
Garuda dipandang
sebagai sumber kehidupan yang utama. Masyarakat mengharapkan adanya seorang
sosok pemimpin yang selalu menerangi kehidupan rakyatnya. Dalam arti raja mampu
mengerti betul apa yang diharapkan bagi kesejahteraan rakyatnya.
Dengan demikian, secara keseluruhan bentuk
garuda merupakan simbol keperkasaan dan perlindungan yang dilandasi
kebijaksanaan. Dalam konsep Tri-Tangtu, perlambangan garuda pada sayap
singabarong ini cenderung mengarah pada harapan adanya sosok pemimpin yang lebih
banyak turun tangan langsung untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh rakyat dan bawahannya secara bijaksana (Rama).
Penggunaan kalung pada singa-barong ini memiliki jumbai
seperti bentuk kalung yang dipakai oleh figur-figur singa tiongkok tetapi
perbedaannya terletak di bagian tengahnya. Berikut dibahas motif liontin yang
bentuknya memiliki pendekatan dengan motif mandala.
Mandala secara
harfiah dalam bahasa Sanskerta berarti lingkaran/ poros. Dalam pola pemikiran
budaya Jawa yang berpangkal pada konsep berpikir sadulur papat limo pancer,
mandala ini sering dikaitkan dengan adanya penggambaran simbol alam semesta
yang meliputi mikrokosmos dan makrokosmos.
Gambar Motif Naga Singabarong
Konsep ini merupakan penyelarasan antara jagad
kecil dan jagad besar. Komposisi empat arah mata angin dengan satu pusat
menjadi pusatnya sumber energi/penggambaran alam semesta. Motif-motif mandala
biasanya pemakaiannya oleh kalangan raja (mempunyai kedudukan tinggi dalam
kekuasaan), bisa juga dipakai oleh sosok yang dianggap mempunyai linuwih (memiliki
kelebihan penguasaan yang lebih), dan yang memiliki kearifan serta
kebijaksanaan layaknya sifat seorang dewa. Dengan kata lain, kalung yang
digunakannya ini mencerminkan harapan adanya sosok pemimpin Resi.
Selain motif
naga, pengaruh Tiongkok yang menjadi motif utama pada bagian kepalanya, dalam
visualisasi singabarong juga terdapat 6 ekor naga ras ular pengaruh Hindu. Dua
berada pada bagian depan kereta dan empat lainnya menjadi tiang penopang
singgasana kereta. Naga jawa dalam singabarong ini nampaknya cenderung lebih
menekankan adanya sosok yang siap sedia untuk mengawasi serta mengayomi
masyarakatnya (pemimpin Rama).
Motif phoenix yang dijadikan salah satu ragam hias kereta
kencana singabarong ini letaknya di sela-sela motif mega mendung dan naga jawa
pada singgasana kereta. Ekornya yang panjang bergelombang inilah yang
menjadikan ciri khas dari burung ini. Motif phoenix mendapat pengaruh yang kuat
dari adanya kontak budaya masyarakat Cirebon dengan negeri Tiongkok. Salah satu
sumber gagasan yang mengilhami perupaan motif burung phoenix pada singgasana
kereta kencana ini tak lain didasari oleh motif-motif yang terdapat pada kain
sutera/pakaian Ong Tien maupun piring-piring porselen yang dibawanya.
Gambar Motif Phoenix
Khas Tiongkok
Berdasarkan mitologi
China, Phoenix merupakan simbol dari kekuasaan, kemakmuran dan keindahan.
Bentuk tubuhnya ini melambangkan lima kualitas manusia. Digambarkan bahwa
seorang pemimpin setidaknya harus memiliki sifat dasar kualitas manusia yakni
kebajikan, kebenaran, cinta kasih, kejujuran, kesusilaan, memiliki integritas
dan dapat dipercaya, serta memiliki pengetahuan dan kearifan. Kategori sifat
kepemimpinan tersebut mendukung adanya sosok pemimpin Rama dan Resi.
Bentuk motif ini
dapat dilihat pada bagian belakang singgasana kereta singabarong. Bentuknya
cukup besar sehingga mudah diidentifikasi walaupun letaknya berada di antara
motif-motif awan.
Berdasarkan sebuah
filosofi dari keberadaan kupu-kupu yang menjadi dasar pengimplementasian motif
pada berbagai jenis artefak pengaruh seni hias Tiongkok. Siklus metamorfosis
kupu-kupu sering dijadikan sebagai pembelajaran diri manusia.
Metamorfosis ini
merupakan cara bagaimana kupu-kupu mengajarkan kearifan dan kesejatian hidup
(simbol pencapaian hidup). Di dalamnya menyangkut konten bahwa seorang raja
hendaknya dapat meningkatkan kualitas diri, baik secara spiritual maupun
tindakan nyata yang kemudian diimplementasikan langsung terhadap rakyat dan
bawahannya. Hal ini agar apa yang dilakukannya mendatangkan manfaat bagi
dirinya sendiri dan kehidupan rakyatnya. Hal ini berkaitan dengan sosok
pemimpin kategori Rama dan Resi.
Motif
megamendung merupakan salah satu kategori motif stilasi benda alam.
Keberadaannya dapat dilihat pada bagian belakang maupun samping tempat duduk.
Motif megamendung tak lepas dari adanya hasil adopsi yang apik gaya seni
Tiongkok. Bagi masyarakat Cirebon, motif megamendung merefleksikan harapan
datangnya hujan yang menyimbolkan kesuburan tanah pertanian bagi kehidupan
masyarakat. Sebagai daerah yang terletak di Pesisir Utara Jawa, kedatangan
hujan dianggap merupakan suatu berkat tersendiri.
Turunnya hujan
ini dianggap sebagai rahmat dari Allah Yang Maharahman (maha pengasih kepada
semua makhluk- Nya) dan Maharahim (maha pengasih hanya kepada umat-Nya yang
bertakwa). Megamendung juga memiliki filosofi bahwa setiap manusia harus mampu
meredam emosinya dalam situasi dan kondisi apa pun.
Adanya filosofi
tersebut menyiratkan seorang pemimpin harus mampu mengontrol amarahnya agar
tidak gampang murka. Segala bentuk tindakan maupun tutur katanya selalu
dijadikan sosok teladan bagi rakyatnya (Resi). Secara konotatif, awan dan hujan
juga merupakan bentuk harapan masyarakat yang menginginkan adanya sosok pemimpin
yang loyal, adil, dan bijaksana serta lebih sering menangani langsung
masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyatnya (Rama).
Motif teratai
yang menjadi salah satu dari motif yang ada pada singabarong. Bentuk teratai
ini disusun menyerupai meander dan diberi warna emas . Kehadiran motif teratai
ini nampaknya mengalami pergeseran dari pengaruh gaya seni Hindu menjadi
cenderung dipengaruhi oleh gaya seni Tiongkok. Masyarakat Cirebon memandang
bahwa ketika Tuhan menciptakan ruh dan kehidupan semua makhluk-Nya, manusia
diibaratkan bunga teratai yang jika tanpa air tidak akan berdaya. Dalam
menjalani kehidupan, manusia diwajibkan untuk terus bertakwa kepada Tuhan dan
saling mengasihi pada setiap umat-Nya.
Makna teratai bagi etnis Tionghoa Cirebon menurut Yan
Siskarteja berkaitan dengan prinsip hukum sebab dan akibat. Setiap tindakan
maupun pikiran manusia akan ada efek atau dampaknya dalam kehidupan saat ini
atau di masa yang akan datang. Dalam bahasa Mandarin teratai disebut dengan he
lian yang bermakna perdamaian dan keberlanjutan. Bunga ini sering dilihat
sebagai bunga yang hidup di lingkungan air yang kotor, tetapi bisa ‘melindungi’
dirinya sendiri.
Teratai tetap bersih tanpa terkena kotoran dan lumpur
yang berada di sekitar kolam. Bunga ini juga mampu mengangkat dirinya ke atas
air yang berlumpur. Hal ini dikaitkan dengan lambang pencapaian pencerahan
spiritual. Seorang raja hendaknya memiliki pemahaman spiritualitas yang tinggi
agar dapat membagi ilmunya kepada rakyatnya. Oleh sebab itu, ilmu itu tidak
berhenti pada dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar