Halaman

Minggu, 19 Januari 2020

Penggunaan motif singa pada singabarong


Penggunaan motif singa pada singabarong

Penggunaan motif singa pada singabarong ini perlu dikaji terlebih dahulu apakah motif singa tersebut merujuk pada seni hias pengaruh Hindu- Budha ataukah representasi dari singa yang dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa.

Bila dilihat dari gejala dan urutan historis yang terjadi dpada abad ke- 16 sudah mulai terasa pengaruh seni hias Tiongkok. Berdasarkan penganalisisan dari segi pendekatan gaya, tampaknya bentuk singa pada kereta singabarong ini cukup memiliki perbedaan yang jauh dengan perupaan singa yang mendapat pengaruh seni hias Hindu- Budha.

Hal ini kemudian memperkuat adanya persepsi bahwa motif singa yang ada pada singabarong ini cenderung didasari oleh adanya pengaruh dari gaya seni Tiongkok. Singabarong pun dilengkapi atribut (kalung) yang mirip dengan bentuk kalung yang dipakai oleh singa Tiongkok.

 Kalung tersebut seolah menandakan bahwa binatang buas ini telah dipelihara dan dikendalikan oleh manusia, dalam hal ini sang raja. Keberadaan singa ini sering diidentikkan dengan simbol keberanian, kekuatan, kewibawaan, kekuasaan, dan kebangsawanan (simbol status) kategori pemimpin raja/ponggawa.

Sebagai perwakilan simbol dunia atas, kehadiran ragam hias burung selalu disandingkan dengan perlambangan dunia bawah dan tengah. Hal ini terkait dengan pandangan monodualistis/ dualisme dwitunggal. Ornamen yang dijadikan penghias sayap singabarong ini dari segi bentuk cenderung lebih mengarah pada representasi sayap garuda yang mendapat pengaruh seni hias Hindu-Budha.

Garuda dipandang sebagai sumber kehidupan yang utama. Masyarakat mengharapkan adanya seorang sosok pemimpin yang selalu menerangi kehidupan rakyatnya. Dalam arti raja mampu mengerti betul apa yang diharapkan bagi kesejahteraan rakyatnya.

Dengan demikian, secara keseluruhan bentuk garuda merupakan simbol keperkasaan dan perlindungan yang dilandasi kebijaksanaan. Dalam konsep Tri-Tangtu, perlambangan garuda pada sayap singabarong ini cenderung mengarah pada harapan adanya sosok pemimpin yang lebih banyak turun tangan langsung untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat dan bawahannya secara bijaksana (Rama).

            Penggunaan kalung pada singa-barong ini memiliki jumbai seperti bentuk kalung yang dipakai oleh figur-figur singa tiongkok tetapi perbedaannya terletak di bagian tengahnya. Berikut dibahas motif liontin yang bentuknya memiliki pendekatan dengan motif mandala.

Mandala secara harfiah dalam bahasa Sanskerta berarti lingkaran/ poros. Dalam pola pemikiran budaya Jawa yang berpangkal pada konsep berpikir sadulur papat limo pancer, mandala ini sering dikaitkan dengan adanya penggambaran simbol alam semesta yang meliputi mikrokosmos dan makrokosmos.
Gambar Motif Naga Singabarong

 Konsep ini merupakan penyelarasan antara jagad kecil dan jagad besar. Komposisi empat arah mata angin dengan satu pusat menjadi pusatnya sumber energi/penggambaran alam semesta. Motif-motif mandala biasanya pemakaiannya oleh kalangan raja (mempunyai kedudukan tinggi dalam kekuasaan), bisa juga dipakai oleh sosok yang dianggap mempunyai linuwih (memiliki kelebihan penguasaan yang lebih), dan yang memiliki kearifan serta kebijaksanaan layaknya sifat seorang dewa. Dengan kata lain, kalung yang digunakannya ini mencerminkan harapan adanya sosok pemimpin Resi.

Selain motif naga, pengaruh Tiongkok yang menjadi motif utama pada bagian kepalanya, dalam visualisasi singabarong juga terdapat 6 ekor naga ras ular pengaruh Hindu. Dua berada pada bagian depan kereta dan empat lainnya menjadi tiang penopang singgasana kereta. Naga jawa dalam singabarong ini nampaknya cenderung lebih menekankan adanya sosok yang siap sedia untuk mengawasi serta mengayomi masyarakatnya (pemimpin Rama).

            Motif phoenix yang dijadikan salah satu ragam hias kereta kencana singabarong ini letaknya di sela-sela motif mega mendung dan naga jawa pada singgasana kereta. Ekornya yang panjang bergelombang inilah yang menjadikan ciri khas dari burung ini. Motif phoenix mendapat pengaruh yang kuat dari adanya kontak budaya masyarakat Cirebon dengan negeri Tiongkok. Salah satu sumber gagasan yang mengilhami perupaan motif burung phoenix pada singgasana kereta kencana ini tak lain didasari oleh motif-motif yang terdapat pada kain sutera/pakaian Ong Tien maupun piring-piring porselen yang dibawanya.


Gambar Motif Phoenix Khas Tiongkok

Berdasarkan mitologi China, Phoenix merupakan simbol dari kekuasaan, kemakmuran dan keindahan. Bentuk tubuhnya ini melambangkan lima kualitas manusia. Digambarkan bahwa seorang pemimpin setidaknya harus memiliki sifat dasar kualitas manusia yakni kebajikan, kebenaran, cinta kasih, kejujuran, kesusilaan, memiliki integritas dan dapat dipercaya, serta memiliki pengetahuan dan kearifan. Kategori sifat kepemimpinan tersebut mendukung adanya sosok pemimpin Rama dan Resi.

Bentuk motif ini dapat dilihat pada bagian belakang singgasana kereta singabarong. Bentuknya cukup besar sehingga mudah diidentifikasi walaupun letaknya berada di antara motif-motif awan.

Berdasarkan sebuah filosofi dari keberadaan kupu-kupu yang menjadi dasar pengimplementasian motif pada berbagai jenis artefak pengaruh seni hias Tiongkok. Siklus metamorfosis kupu-kupu sering dijadikan sebagai pembelajaran diri manusia.

Metamorfosis ini merupakan cara bagaimana kupu-kupu mengajarkan kearifan dan kesejatian hidup (simbol pencapaian hidup). Di dalamnya menyangkut konten bahwa seorang raja hendaknya dapat meningkatkan kualitas diri, baik secara spiritual maupun tindakan nyata yang kemudian diimplementasikan langsung terhadap rakyat dan bawahannya. Hal ini agar apa yang dilakukannya mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri dan kehidupan rakyatnya. Hal ini berkaitan dengan sosok pemimpin kategori Rama dan Resi.

Motif megamendung merupakan salah satu kategori motif stilasi benda alam. Keberadaannya dapat dilihat pada bagian belakang maupun samping tempat duduk. Motif megamendung tak lepas dari adanya hasil adopsi yang apik gaya seni Tiongkok. Bagi masyarakat Cirebon, motif megamendung merefleksikan harapan datangnya hujan yang menyimbolkan kesuburan tanah pertanian bagi kehidupan masyarakat. Sebagai daerah yang terletak di Pesisir Utara Jawa, kedatangan hujan dianggap merupakan suatu berkat tersendiri.

Turunnya hujan ini dianggap sebagai rahmat dari Allah Yang Maharahman (maha pengasih kepada semua makhluk- Nya) dan Maharahim (maha pengasih hanya kepada umat-Nya yang bertakwa). Megamendung juga memiliki filosofi bahwa setiap manusia harus mampu meredam emosinya dalam situasi dan kondisi apa pun.

Adanya filosofi tersebut menyiratkan seorang pemimpin harus mampu mengontrol amarahnya agar tidak gampang murka. Segala bentuk tindakan maupun tutur katanya selalu dijadikan sosok teladan bagi rakyatnya (Resi). Secara konotatif, awan dan hujan juga merupakan bentuk harapan masyarakat yang menginginkan adanya sosok pemimpin yang loyal, adil, dan bijaksana serta lebih sering menangani langsung masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyatnya (Rama).

Motif teratai yang menjadi salah satu dari motif yang ada pada singabarong. Bentuk teratai ini disusun menyerupai meander dan diberi warna emas . Kehadiran motif teratai ini nampaknya mengalami pergeseran dari pengaruh gaya seni Hindu menjadi cenderung dipengaruhi oleh gaya seni Tiongkok. Masyarakat Cirebon memandang bahwa ketika Tuhan menciptakan ruh dan kehidupan semua makhluk-Nya, manusia diibaratkan bunga teratai yang jika tanpa air tidak akan berdaya. Dalam menjalani kehidupan, manusia diwajibkan untuk terus bertakwa kepada Tuhan dan saling mengasihi pada setiap umat-Nya.

            Makna teratai bagi etnis Tionghoa Cirebon menurut Yan Siskarteja berkaitan dengan prinsip hukum sebab dan akibat. Setiap tindakan maupun pikiran manusia akan ada efek atau dampaknya dalam kehidupan saat ini atau di masa yang akan datang. Dalam bahasa Mandarin teratai disebut dengan he lian yang bermakna perdamaian dan keberlanjutan. Bunga ini sering dilihat sebagai bunga yang hidup di lingkungan air yang kotor, tetapi bisa ‘melindungi’ dirinya sendiri.

           
            Teratai tetap bersih tanpa terkena kotoran dan lumpur yang berada di sekitar kolam. Bunga ini juga mampu mengangkat dirinya ke atas air yang berlumpur. Hal ini dikaitkan dengan lambang pencapaian pencerahan spiritual. Seorang raja hendaknya memiliki pemahaman spiritualitas yang tinggi agar dapat membagi ilmunya kepada rakyatnya. Oleh sebab itu, ilmu itu tidak berhenti pada dirinya sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar