Halaman

Minggu, 19 Januari 2020

Kereta Kuno Simbol keragaman di Cirebon


Kereta Kuno Simbol keragaman di Cirebon
         
          Orang Indonesia zaman dulu juga sudah mengenal semboyan persatuan Bhinneka Tunggal Ika. Buktinya ada di Cirebon, berupa sebuah kereta kuno.

            Adalah Pangeran Cakrabuana alias Mbah Kuwu Cirebon sebagai sultan pertama yang telah meninggalkan segudang peninggalan benda pusaka di Tanah 
Cirebon. Salah satu yang paling ikonik adalah Kereta Paksi Naga Liman.

               Kereta pusaka itu disimpan di Museum Keraton Kanoman Cirebon. Bentuknya masih orisinil. Berwarna hitam dan terlihat gagah. Kereta Paksi Naga berbentuk naga bersayap dengan kepala menyerupai gajah dengan posisi belalainya mengangkat sebuah tombak.

            Patih Kanoman Cirebon, Pangeran Patih Raja Mochamad Qodiran mengatakan kereta pusaka Paksi Naga Liman merupakan kendaraan utama pada masa Kerajaan Singhapura hingga Kesultanan Cirebon, yakni sekitar tahun 1428 masehi. Munculnya gagasan kereta pusaka tersebut terinspirasi dari kendaraan Perang Bhatara Indra.

            "Kereta ini diyakini telah ada sejak masa Pangeran Cakrabuana berdasarkan naskah tertulis pada Candra Sangkala. Kereta ini sempat digunakan untuk menyerang Kerajaan Galuh".

            Di Cirebon terdapat 3 Keraton, Diantaranya ada Keraton Kasepuhan,Keraton Kanoman,
Keraton Kacirebonan. Kali ini kita akanton-tunjukkan keragaman apa saja yang terdapat pada Keraton-keraton di Cirebon :

1. Keraton Kasepuhan


            Keraton Kasepuhan, obyek wisata utama di kota Cirebon, Jawa Barat, mungkin sudah dikenal dan sudah dikunjungi. Namun, apakah Anda sudah benar-benar mengenalnya?            Sementara bentuk bangunan dan berbagai koleksi benda kuno di keraton ini sudah banyak diketahui, perpaduan berbagai unsur agama dan budaya dalam rancang bangun serta benda kuno di Keraton Kasepuhan mungkin terlewatkan. Keraton Kasepuhan dan pernak-pernik yang tersimpan di dalamnya adalah perpaduan dari tiga agama, yaitu Hindu, Islam, dan Buddha, serta tiga budaya, yaitu Jawa, Tiongkok, dan Eropa. Perpaduan ini menjadikan Keraton Kasepuhan lebih istimewa dari keraton lainnya. Secara keseluruhan, kompleks keraton terdiri dari keraton itu sendiri, alun-alun, serta masjid. Rancangan ini serupa dengan Keraton Yogyakarta dan Solo, merupakan representasi dari arsitektur Islam nusantara.
           
            Namun demikian, Keraton Kasepuhan masih memiliki unsur Hindu yang kental. Tembok keraton yang terdiri dari bata merah dan bentuk gapura keraton serupa dengan arsitektur bangunan Hindu seperti keraton Majapahit. Dari sisi budaya, keberadaan Siti Hinggil dan pendopo-pendopo kecil adalah representasi dari bangunan Jawa. Sementara, terdapat juga keramik-keramik dinding yang punya 2 corak, Eropa dan Tiongkok. Di Taman Bundaran Dewandaru yang terletak di kompleks tengah keraton, unsur Hindu bisa dijumpai dalam wujud Lembu Nandu. Sementara, unsur Eropa berwujud meriam hadiah dari Thomas Stanford Raffles. Benda kuno keraton yang menunjukkan dengan jelas perpaduan unsur berbagai agama dan budaya adalah kereta kencana Singa Barong, kereta kencana tua canggih pertama buatan Indonesia.

            Pada bagian depan kereta, terdapat wujud hewan yang merupakan gabungan dari tiga hewan sekaligus, yakni gajah, garuda, dan naga. Belalai gajah adalah lambang agama Hindu, garuda bersayap burak adalah lambang Islam, sedangkan naga adalah lambang Buddha.


2.) Keraton Kanoman


            Untuk mengunjungi kraton Kanoman lebih sulit dibanding Kraton Kasepuhan. Kraton ini terletak di belakan Pasar Kanoman Cirebon, yang untuk masuknya akan menguji kesabaran, terlebih jika membawa mobil. Kraton ini juga punya masalah yang sama dengan Kraton Kasepuhan, terlebih lokasinya di dekat pasar menjadikan bagian depan kraton terkesan kumuh karena banyaknya sampah.
            Sama halnya dengan kraton kasepuhan, kraton ini memiliki mesjid Agung di sisi barat alun-alun. Juga terdapat bangunan Siti Hinggil dan Langgar Kraton. Jika pada Kraton Kasepuhan bangunan didominasi bata merah, bangunan di Kraton Kanoman berwarna putih, kecuali pada bangsal kraton dan mesjid agung. Namun ciri khas bangunan Cirebon masih dapat terlihat dari tempelan-tempelan piring keramik cina/eropa pada dinding bangunan.

            Di Kraton kanoman juga terdapat Patung Singa, bedanya patung singanya terletak di pintu masuk kraton bagian barat, tidak di dalam taman seperti di Kraton Kasepuhan.
Pada museum benda kuno Kraton Kanoman, penataan benda-benda kunonya sangat tidak rapih alias berantakan. Benda kuno yang paling besar adalah Kereta Kencananya. Ada tiga kereta kencana di museum ini, dua adalah produk asli peninggalan abad 15, sementara satu kereta adalah replikasi yang dibuat tahun 2007.


3. Keraton Kacirebonan


            Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800 M, Bangunan kolonial ini banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris, Wayang, perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain.

            Seperti halnya Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, Kecirebonan pun tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan dan upacara adat seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.

            Kacirebonan berada di wilayah kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan, tepatnya 1 km sebelah barat daya dari Keraton Kasepuhan dan kurang lebih 500 meter sebelah selatan Keraton Kanoman. Keraton Kacirebonan posisinya memanjang dari utara ke selatan (posisi yang sama dengan keraton-keraton lain di Cirebon) dengan luas tanah sekitar 46.500 meter persegi.
            Arsitektur Bangunan Kacirebonan masuk ke dalam model gaya percampuran Cina, Bangunan jaman Kolonial dan Tradisional . Bentuk bangunannya seperti bangunan pembesar pada zaman kolonial Belanda dengan pengaruh arsitektur Eropa yang kuat.

            Setelah wafatnya Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon Amirul Mukminin pada tahun 1814, Ratu Raja Resminingpuri yang merupakan permaisuri dari mendiang almarhum Sultan Kacirebonan I tinggal di area Taman Sari Gua Sunyaragi, tetapi dengan memiliki anak yang masih kecil dan baru berumur lima tahun yaitu Pangeran Raja Madenda Hidayat yang kelak menjadi Sultan Kacirebonan II dia memutuskan untuk membangun sebuah keraton Kacirebonan di Pulosaren dengan uang pensiunan yang selama ini ditolaknya. Pada masa awal pembangunan keraton Kacirebonan Ratu Raja Resminingpuri membuat bangunan induk keraton, Paseban dan Tajug (mushola).

            Bangunan induk keraton sebagai tempat sebagai tempat tinggal sehari-hari sultan beserta keluarganya. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan antara lain ruang tidur, ruang kerja sultan, pecira, kamar jimat, prabayasa, dapur dan teras (berfungsi sebagai ruang tunggu bila prajurit rendahan ingin menghadap Sultan).

            Paseban, terdapat dua buah bangunan Paseban di kompleks keraton Kacirebonan, yaitu di barat dan timur, berdenah persegi panjang. Paseban barat menghadap timur ditompang oleh 8 buah tiang dan 4 saka guru (tiang utama) dan merupakan bangunan semi terbuka, dinding sisi barat dan timur dipagari dengan tembok rendah, atapnya berbentuk joglo dengan penutup genteng.

            Tajug (mushola), terletak di sebelah barat bangunan induk, antara tajug dan paseban dipisahkan oleh tembok namun ada pintu penghubung di sisi barat tembok. Pelataran keraton ke arah selatan pada pagar tembok terdapat gapura kori agung beratap joglo, yaitu pintu agung utama.
            Ratu Raja Resminingpuri pun menjadi wali atas puteranya yang masih kecil tersebut. Setelah Pangeran Raja Madenda Hidayat dewasa, Ratu Raja Resminingpuri memberikan tahtanya kepada puteranya tersebut dengan gelar sultan namun hal itu ditolak oleh Belanda. (menurut Besluit hanya Sultan Kacirebonan I saja yang berhak menyandang gelar sultan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar