Kereta Kencana Singabarong dan Paksi Naga
Liman merupakan hasil produksi kebudayaan yang dibuat oleh individu/ sekelompok
masyarakat sebagai refleksi dari adanya gagasan dan tindakan yang dihasilkan di
tempat dan periode tertentu.
Gambar pertama kereta Singa Barong
:
Gambar kedua kereta Paksi
Nagaliman:
Perupaan kereta kencana tersebut
dalam bentuk makhluk hibriditas merefleksikan lingkungan kosmos dan simbol
akulturasi budaya yang menghiasi perkembangan kebudayaan dan seni hias di
wilayah Cirebon. Kedua karya seni ini memiliki asal usul mirip, termasuk adanya
kesinambungan tradisi seni hias yang serupa. Akan tetapi, kedua kereta kencana
ini menampilkan perbedaan dalam hal ekspresi gaya ragam hias.
Mulai dari raja,
rakyat umum, maupun kalangan seniman keraton banyak yang terinspirasi dari
keberadaan motif-motif unik yang dihasilkan oleh kebudayaan Tiongkok yang
dibawa oleh Ong Tien. Kebijakan-kebijakan Panembahan Ratu I sebagai sosok yang
dikenal sebagai raja Pandhita ini seolah hendak menyatukan berbagai macam
budaya dalam satu keselarasan yang tidak melulu mengacu pada dominasi seni hias
Hindu. Ini berkaitan dengan adanya pelenturan identitas bagi suatu komunitas
tertentu dalam mengekspresikan objek-objek yang diciptakannya.
Pada dasarnya
masyarakat Cirebon pada zaman dahulu juga telah memiliki rambu tersendiri yang
membatasi diri mereka terhadap apa yang bisa ditoleransi, apa yang pantasdan
kurang pantas maupun tidak pantas untuk dilihat. Pada saat itu seni hias Islam
lebih memilih berada pada jalur tengah dalam artian menoleransi apa yang
diciptakannya, nilai-nilai keislaman ini cenderung disisipkan pada muatan
makna-makna simbolik yang dianggap universal bagi pemahaman spiritualitas
masyarakat Cirebon.
Hal tersebut tak
lepas dari adanya aliran Islam tarekat yang menjadi kepercayaan yang dianut
oleh hampir seluruh masyarakat Cirebon. Aliran ini cenderung bersikap luwes dan
menghargai tradisi budaya dan seni yang sudah ada sejak zaman pra-Islam.
Satu lagi tren yang dibawa secara
berkelanjutan dalam menampilan sosok/ figur tertentu dari adanya perupaan
makhluk singabarong maupun Paksi Naga Liman. Tren tersebut tak lain ialah
adanya penerapan wayang sebagai media hiburan dan spiritualitas.
Walaupun tidak secara keseluruhan,
karakter-karakter dasar yang dibuat diambil dari beberapa unsur visual yang ada
pada wayang. Paksi naga liman memiliki jenis mata thelengan, mulut mrenges,
serta menggunakan atribut garuda mungkur, sumping, zamang dan motif kalung
berbentuk bulan sabit. Secara garis besar visual ini merepresentasikan sosok
tokoh raksasa bertubuh kecil yang menjadi seorang raja namun juga bersikap
layaknya seorang ksatria.
Hal ini sesuai dengan candra
sengkala dari kode tahun pembuatan kereta yang tertera pada bagian kalung
ini yang memiliki sengkalan “reksasa luhur wedaning jagad” yang artinya raksasa
mulia penjaga alam semesta. Sementara itu, perupaan figur singabarong itu
memiliki bentuk mata plelengan, mulut ngablak.
Hal ini
merepresentasikan tokoh raksasa yang bertubuh tambun sesuai dengan sengkalan
singabarong yang merujuk pada “iku pandhita buta rupane”. Sengkalan tersebut
seolah menyiratkan bahwa wujud raksasa dalam singabarong ini memiliki
sifat-sifat layaknya seorang ulama/ pandhita yang memiliki linuwih dan
bijaksana layaknya seorang dewa yang juga terkadang sewaktu-waktu dapat
menunjukkan angkara murkanya.
Hal ini sama dengan penggambaran
kepemimpinan dasar dalam pemerintahan Panembahan Ratu I yang banyak bertindak
sebagai raja pandhita. Adanya penerapan unsur wayang sebagai bagian dari tren
ini juga dibenarkan oleh Sultan Sepuh XIV P.R.A Arief Natadiningrat. Dia
mengatakan pada zaman tersebut memang tak bisa dilepaskan dari adanya media
wayang sebagai bagian dari jiwa yang telah menyatu dengan masyarakat yang
kemudian sering diterapkan pada berbagai aspek lain salah satuya sebagai sumber
ide atau gagasan dalam membuat artefak. Dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.) Penyesuaian
yang ada di Cirebon khususnya yang disimbolkan dalam bentuk visualisasi makhluk
singabarong dan paksi naga liman ini tak lepas dari ajaran Islam Tarzekat
Syattariyah yang berkembang dan menjadi acuan masyarakat Keraton Cirebon dan umum pada saat itu. Pangeran Cakrabuana
mempelajari agama Islam.
Beliau berguru dan kemudian mengamalkan ajaran
tersebut kepada masyarakat pendukungnya. Sepeninggalnya pun, ketika tahta
berikutnya telah berada di tangan Sunan Gunung Jati, ajaran ini tetap menjadi
pilihan utama untuk dikembangkan di wilayah Cirebon.
Mengingat ajaran ini merupakan
ajaran yang dirasa tepat untuk menghadapi situasi penduduk yang masih beragam.
Berbeda dengan ajaran Islam ‘mutlak’ yang banyak menghindari perupaan
makhluk-makhluk ber-nyawa, ajaran tarekat ini lebih mementingkan keluwesannya
terhadap nilai kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum Islam diperkenalkan,
sehingga terkadang ditemukan nilai-nilai yang sifatnya sinkretis.
2.) Perbedaan
yang menjadi kekhasan di antara kedua perupaan singabarong dan paksi nagaliman
ini dapat dilihat dari penerapan unsur garis, motif, komposisi dan warna. Dari
segi unsur garis, pada singabarong guratan garisnya lebih kuat dibandingkan
pada Paksi Naga Liman. Dari segi perbedaan bentuk motif yang menghiasinya pun
sangat berbeda.
Paksi naga liman lebih banyak
menggunakan motif-motif khas Hindu seperti adanya penggunaan motif kala, garuda
mungkur, naga jawa, dll. Singabarong mulai banyak memunculkan motif-motif yang
bersumber dari perlambangan kosmos , seperti wadasan , megamendung.
Motif-motif fauna yang digunakannya
pun lebih bervariasi seperti adanya motif phoenix maupun kupu-kupu. Komposisi
yang diterapkan pada singabarong pun tidak hanya memunculkan pola yang
simetris, bentuk pola asimetrisnya pun dapat dijumpai seperti halnya pada
bagian naga jawa yang letaknya di depan ini terlihat tidak simetris antara yang
kanan dan kiri melambangkan adanya wujud naga jantan dan betina. Unsur
warnanya, susunan warna yang dikenal di kalangan masyarakat Cirebon ini
tersusun dalam istilah saderek gangsal manunggal baju.
Pada penerapan warna kereta kencana
Singabarong menggunakan 4 warna yakni warna hitam menggambarkan sifat nafsu
Lauwamah (mampu mengatasi segala kesulitan dan sebagai penyeimbang) diterapkan
pada bagian badan makhluk singabarong, warna merah sebagai nafsu amarah simbol
sifat angkara murka diterapkan sebagai warna pengisi pada bagian mata, gusi,
lidah, kuku, dan bagian rangka bawah kereta, warna emas sebagai lambang nafsu
Sufiyah (sifat baik budi serta kekuatan yang abadi) diterapkan pada bagian
singgasana kereta, sayap, rambut, gigi dan penggunaan warna pada ragam hias
floratif, yang terakhir warna hijau melambangkan sifat Mulhimah (kemampuan
untuk menghalangi nafsu yang buruk) dilambangkan pada bagian motif batu cadas.
Sedangkan secara keseluruhan
penerapan warna yang digunakan pada kereta Paksi Naga Liman justru hanya
terdiri dari satu warna utama yakni warna hitam yang mulai memudar sehingga
terlihat seperti warna kulit manggis.
3.) Motivasi
atau spirit zaman yang mempengaruhi adanya perubahan gaya visual antara
singabarong dan paksi naga liman di antaranya ialah adanya perubahan
kepemimpinan dan trend yang terjadi dalam kurun perbedaan waktu sekitar kurang
lebih II abad.
Munculnya tren baru ini terlihat
semenjak Sunan Gunung Jati menikahi Ong Tien dari China, sehingga berbagai
artefak yang dihasilkan di keraton Cirebon pun mulai dipengaruhi oleh unsur
seni hias Tiongkok. Hal ini dapat terasa perubahannya pada kereta kencana
singabarong yang menunjukkan kekhasan motif-motif Tiongkok yang terinspirasi
dari berbagai macam pernak-pernik, keramik, maupun kain sutera dari China.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar