Halaman

Minggu, 19 Januari 2020

Membandingkan Kereta Kencana Khas Cirebon Paksi Naga Liman dan Singa Barong


Membandingkan Kereta Kencana Khas Cirebon Paksi Naga Liman dan Singa Barong


             Kereta Kencana Singabarong dan Paksi Naga Liman merupakan hasil produksi kebudayaan yang dibuat oleh individu/ sekelompok masyarakat sebagai refleksi dari adanya gagasan dan tindakan yang dihasilkan di tempat dan periode tertentu.

Gambar pertama kereta Singa Barong :

Gambar kedua kereta Paksi Nagaliman:

            Perupaan kereta kencana tersebut dalam bentuk makhluk hibriditas merefleksikan lingkungan kosmos dan simbol akulturasi budaya yang menghiasi perkembangan kebudayaan dan seni hias di wilayah Cirebon. Kedua karya seni ini memiliki asal usul mirip, termasuk adanya kesinambungan tradisi seni hias yang serupa. Akan tetapi, kedua kereta kencana ini menampilkan perbedaan dalam hal ekspresi gaya ragam hias.

            Mulai dari raja, rakyat umum, maupun kalangan seniman keraton banyak yang terinspirasi dari keberadaan motif-motif unik yang dihasilkan oleh kebudayaan Tiongkok yang dibawa oleh Ong Tien. Kebijakan-kebijakan Panembahan Ratu I sebagai sosok yang dikenal sebagai raja Pandhita ini seolah hendak menyatukan berbagai macam budaya dalam satu keselarasan yang tidak melulu mengacu pada dominasi seni hias Hindu. Ini berkaitan dengan adanya pelenturan identitas bagi suatu komunitas tertentu dalam mengekspresikan objek-objek yang diciptakannya.

Pada dasarnya masyarakat Cirebon pada zaman dahulu juga telah memiliki rambu tersendiri yang membatasi diri mereka terhadap apa yang bisa ditoleransi, apa yang pantasdan kurang pantas maupun tidak pantas untuk dilihat. Pada saat itu seni hias Islam lebih memilih berada pada jalur tengah dalam artian menoleransi apa yang diciptakannya, nilai-nilai keislaman ini cenderung disisipkan pada muatan makna-makna simbolik yang dianggap universal bagi pemahaman spiritualitas masyarakat Cirebon.

Hal tersebut tak lepas dari adanya aliran Islam tarekat yang menjadi kepercayaan yang dianut oleh hampir seluruh masyarakat Cirebon. Aliran ini cenderung bersikap luwes dan menghargai tradisi budaya dan seni yang sudah ada sejak zaman pra-Islam.

            Satu lagi tren yang dibawa secara berkelanjutan dalam menampilan sosok/ figur tertentu dari adanya perupaan makhluk singabarong maupun Paksi Naga Liman. Tren tersebut tak lain ialah adanya penerapan wayang sebagai media hiburan dan spiritualitas.

            Walaupun tidak secara keseluruhan, karakter-karakter dasar yang dibuat diambil dari beberapa unsur visual yang ada pada wayang. Paksi naga liman memiliki jenis mata thelengan, mulut mrenges, serta menggunakan atribut garuda mungkur, sumping, zamang dan motif kalung berbentuk bulan sabit. Secara garis besar visual ini merepresentasikan sosok tokoh raksasa bertubuh kecil yang menjadi seorang raja namun juga bersikap layaknya seorang ksatria.

            Hal ini sesuai dengan candra sengkala dari kode tahun pembuatan kereta yang tertera pada bagian kalung ini yang memiliki sengkalan “reksasa luhur wedaning jagad” yang artinya raksasa mulia penjaga alam semesta. Sementara itu, perupaan figur singabarong itu memiliki bentuk mata plelengan, mulut ngablak.
            Hal ini merepresentasikan tokoh raksasa yang bertubuh tambun sesuai dengan sengkalan singabarong yang merujuk pada “iku pandhita buta rupane”. Sengkalan tersebut seolah menyiratkan bahwa wujud raksasa dalam singabarong ini memiliki sifat-sifat layaknya seorang ulama/ pandhita yang memiliki linuwih dan bijaksana layaknya seorang dewa yang juga terkadang sewaktu-waktu dapat menunjukkan angkara murkanya.
            Hal ini sama dengan penggambaran kepemimpinan dasar dalam pemerintahan Panembahan Ratu I yang banyak bertindak sebagai raja pandhita. Adanya penerapan unsur wayang sebagai bagian dari tren ini juga dibenarkan oleh Sultan Sepuh XIV P.R.A Arief Natadiningrat. Dia mengatakan pada zaman tersebut memang tak bisa dilepaskan dari adanya media wayang sebagai bagian dari jiwa yang telah menyatu dengan masyarakat yang kemudian sering diterapkan pada berbagai aspek lain salah satuya sebagai sumber ide atau gagasan dalam membuat artefak. Dapat disimpulkan sebagai berikut :


1.)       Penyesuaian yang ada di Cirebon khususnya yang disimbolkan dalam bentuk visualisasi makhluk singabarong dan paksi naga liman ini tak lepas dari ajaran Islam Tarzekat Syattariyah yang berkembang dan menjadi acuan masyarakat Keraton  Cirebon dan umum pada saat itu. Pangeran Cakrabuana mempelajari agama Islam.

             Beliau berguru dan kemudian mengamalkan ajaran tersebut kepada masyarakat pendukungnya. Sepeninggalnya pun, ketika tahta berikutnya telah berada di tangan Sunan Gunung Jati, ajaran ini tetap menjadi pilihan utama untuk dikembangkan di wilayah Cirebon.

            Mengingat ajaran ini merupakan ajaran yang dirasa tepat untuk menghadapi situasi penduduk yang masih beragam. Berbeda dengan ajaran Islam ‘mutlak’ yang banyak menghindari perupaan makhluk-makhluk ber-nyawa, ajaran tarekat ini lebih mementingkan keluwesannya terhadap nilai kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum Islam diperkenalkan, sehingga terkadang ditemukan nilai-nilai yang sifatnya sinkretis.

2.)       Perbedaan yang menjadi kekhasan di antara kedua perupaan singabarong dan paksi nagaliman ini dapat dilihat dari penerapan unsur garis, motif, komposisi dan warna. Dari segi unsur garis, pada singabarong guratan garisnya lebih kuat dibandingkan pada Paksi Naga Liman. Dari segi perbedaan bentuk motif yang menghiasinya pun sangat berbeda.

            Paksi naga liman lebih banyak menggunakan motif-motif khas Hindu seperti adanya penggunaan motif kala, garuda mungkur, naga jawa, dll. Singabarong mulai banyak memunculkan motif-motif yang bersumber dari perlambangan kosmos , seperti wadasan , megamendung.

            Motif-motif fauna yang digunakannya pun lebih bervariasi seperti adanya motif phoenix maupun kupu-kupu. Komposisi yang diterapkan pada singabarong pun tidak hanya memunculkan pola yang simetris, bentuk pola asimetrisnya pun dapat dijumpai seperti halnya pada bagian naga jawa yang letaknya di depan ini terlihat tidak simetris antara yang kanan dan kiri melambangkan adanya wujud naga jantan dan betina. Unsur warnanya, susunan warna yang dikenal di kalangan masyarakat Cirebon ini tersusun dalam istilah saderek gangsal manunggal baju.

            Pada penerapan warna kereta kencana Singabarong menggunakan 4 warna yakni warna hitam menggambarkan sifat nafsu Lauwamah (mampu mengatasi segala kesulitan dan sebagai penyeimbang) diterapkan pada bagian badan makhluk singabarong, warna merah sebagai nafsu amarah simbol sifat angkara murka diterapkan sebagai warna pengisi pada bagian mata, gusi, lidah, kuku, dan bagian rangka bawah kereta, warna emas sebagai lambang nafsu Sufiyah (sifat baik budi serta kekuatan yang abadi) diterapkan pada bagian singgasana kereta, sayap, rambut, gigi dan penggunaan warna pada ragam hias floratif, yang terakhir warna hijau melambangkan sifat Mulhimah (kemampuan untuk menghalangi nafsu yang buruk) dilambangkan pada bagian motif batu cadas.

            Sedangkan secara keseluruhan penerapan warna yang digunakan pada kereta Paksi Naga Liman justru hanya terdiri dari satu warna utama yakni warna hitam yang mulai memudar sehingga terlihat seperti warna kulit manggis.


3.)       Motivasi atau spirit zaman yang mempengaruhi adanya perubahan gaya visual antara singabarong dan paksi naga liman di antaranya ialah adanya perubahan kepemimpinan dan trend yang terjadi dalam kurun perbedaan waktu sekitar kurang lebih II abad.

            Munculnya tren baru ini terlihat semenjak Sunan Gunung Jati menikahi Ong Tien dari China, sehingga berbagai artefak yang dihasilkan di keraton Cirebon pun mulai dipengaruhi oleh unsur seni hias Tiongkok. Hal ini dapat terasa perubahannya pada kereta kencana singabarong yang menunjukkan kekhasan motif-motif Tiongkok yang terinspirasi dari berbagai macam pernak-pernik, keramik, maupun kain sutera dari China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar