Halaman

Selasa, 24 Desember 2019

Tingginya Makna Motif Naga di Batik Lasem




Batik Lasem bukan dijadikan status sosial layaknya sejarah batik-batik di Jawa. Batik Lasem adalah simbol persatuan, wujud dari akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya masyarakat setempat. Salah satu motif yang menjadi andalan warga Lasem dan sudah diturunkan sejak ratusan tahun lalu adalah motif Hong. Burung Hong merupakan hewan legenda. Burung Hong dalam bahasa mandarin disebut juga burung Fenghuang. Feng sendiri adalah sebutan untuk spesies jantan, sedangkan Huang sebutan untuk betina.

Batik Lasem tidak bisa lepas dari invansi makhluk mitologi bernama naga. Naga selalu datang, meliuk menjadi salah satu motif utama dalam batik Lasem. Menurut legenda Tiongkok, keberadaan ular raksasa ganas ini tidak membahayakan. Ornamen Naga menjadi bagian penting dari keanekaragaman Motif Batik Lasem, karena eksotismenya mampu memperkokoh ekesitensi batik Lasem. Terbukti, batik lawas Lasem yang memiliki motif naga, menjadi salah satu motif batik pesisiran yang diburu kolektor.

Batik Lasem Naga memiliki karakteristik yang berbeda dengan batik naga dari daerah lain. Dari detil ornamennya, gambar naga di batik Lasem tampak sangat orientalis. Tampilan naga dengan tanduk, sungut, dan cakar, menandakan hewan yang disebut Liong atau Lung ini begitu dominatif. Dominasi Liong dipertegas stailisasi Kilin yang bersuka ria memperebutkan bola api di tumpal. Isen-isen Phoenix, atau Burung Hong yang bersimbiosis dengan aneka flora semakin memperdalam eksistensi Lung dalam ragam hias Batik Lasem.

Motif Naga diintepretasikan sebagai refleksi harapan-harapan mulia, serta simbolisasi perjalanan spiritualisme. Dalam tradisi Cina, Naga berkaitan erat dengan sumber kekuatan alam. Wajar jika akhirnya Sang Naga selalu melambangkan kekuatan alam yang maha dahsyat layaknya angin taufan.

Tidak hanya itu, Naga juga dipersonifikasi sebagai penjelmaan roh orang suci yang belum bisa masuk surga. Roh orang suci menjelma menjadi Naga kecil yang masuk ke bumi untuk tidur dan meditasi dalam waktu lama. Setelah tubuh tumbuh membesar, Naga bangun, bangkit, dan terbang ke surga. Warna Naga juga bermakna filosofis. Naga Merah, Naga Biru, Naga Putih, hingga mencapai Naga Emas, merupakan simbol tingkat spiritualisme masyarakat Tionghoa.

Perbedaan warna naga ini bermakna perjalanan langkah demi langkah menuju nirwana. Namun, Batik Lasem Naga tetaplah multitafsir. Stailisasi dan visualisasi Naga dalam ornamen utama motif Batik Lasem selalu terbuka bagi tumbuh berkembangnya intepretasi lintas tradisi


Arti Naga Cina Dalam Ragam Hias Batik

Sering kita Jumpai batik dengan motif Naga dalam Peradaban cina naga ini mempunyai nilai dan makna tersendiri Naga Cina disebut Long dalam bahasa Mandarin, dan Liong dalam dialek Hokian. Ia mulai dikenal sejak kira-kira 3.000 tahun yang lalu.

Penampilannya berbeda dengan Naga Jawa yang seperti ular bermahkota, dengan Naga Eropa yang mirip dinosaurus bersayap dan dengan Naga India yang sering digambarkan mirip ular kobra.

Naga Cina ada bermacam-macam jenisnya. Yang paling dikenal adalah yang hijau kebiruan. Kepalanya dikatakan seperti kepala kuda atau unta, tetapi bermisai. Giginya runcing seperti gigi harimau, tanduknya seperti milik rusa jantan raksasa, sedangkan matanya seperti mata kelinci. Ada pula yang menyatakan matanya seperti mata setan. Daun telinganya seperti milik lembu jantan. Tubuhnya panjang seperti ular, ditutupi 117 sisik yang bentuknya seperti sisik ikan emas. Keempat kakinya memiliki cakar seperti elang. Cakarnya bisa lima, empat atau tiga.

Soal cakar ini tidak boleh sembarangan. Naga adalah lambang kaisar Cina. Cuma naga kekaisaran yang boleh memiliki lima cakar. Pakaian pembesar di bawah kaisar cuma boleh dihias dengan naga bercakar empat. Naga bercakar tiga adalah milik orangorang yang berkedudukan sosial lebih rendah lagi.

Naga yang berpenampilan demikian dikenal pula di jepang, Korea dan di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Konon naga kekaisaran Korea di Istana Gyeongbok yang terletak di sebelah utara Seoul memiliki tujuh cakar, tetapi disembunyikan

di atas kasau penyangga atap supaya tidak ketahuan kaisar Cina. Akhirnya Jepang yang menghancurkan istana itu, bukan Cina. Alasannya pun bukan karena naga bercakar tujuh.

Naga kerap digambarkan dikelilingi air atau awan. Makhluk ini diagungkan karena dipercaya memiliki kekuasaan dan kesaktian yang luar biasa. Ia bisa terbang, bisa pula hidup di dasar lautan dan ada pula yang tinggal di dalam tanah.

Naga Cina umumnya dianggap. sebagai pelindung, penolak bala, pemberi rezeki dan kesuburan karena menurunkan hujan, walaupun kalau sedang murka bisa mendatangkan kemarau panjang dan banjir di darat serta badai di laut.

Hiasan berupa naga pada pakaian, bangunan, perabot rumah tangga, keramik dsb. dianggap bisa menolak bala dan memberi keberuntungan. ]adi berbeda dengan Naga Eropa yang dianggap sebagai makhluk jahat pembawa bencana. Sampai saat ini, kain batik untuk menggendong anak, banyak yang masih dihiasi dengan gambar naga.

Banyak orangtua Cina mengharapkan putranya “menjadi naga”, artinya sukses dan berkuasa. Harapan ini di antaranya dinyatakan dengan memberi nama “Long” atau “Lung/Loong” atau “Liong” kepada anaknya. Kadang-kadang ada anak bernama “Long” atau “Loong” atau “Liong” yang sering sakit gara-gara “keberatan nama”, sehingga harus diberi nama baru dalam usaha menyembuhkannya.

Bukan cuma orang, konon ikan pun banyak yang ingin menjadi naga. Untuk itu mereka harus berusaha mengatasi pelbagai kesulitan dalam mencapai air terjun “Gerbang Naga” di Sungai Kuning. Kalau mereka berhasil melompati air terjun itu, berarti mereka lulus ujian dan berubah menjadi naga. Tiap jenis naga memiliki tugas yang berbeda. Yang banyak dikenal“ di Indonesia adalah Donghai Longwang, Raja Naga dari Laut Timur. Tokoh itu dalam dialek Hokian biasa disebut Hai Liong Ong.
Makna Ragam Hias Batik Tionghoa Peranakan

Batik Pesisiran atau batik yang berkembang di daerah pesisir utara Pulau Jawa menampilkan beraneka ragam motif yang banyak dipengaruhi oleh budaya luar Indonesia. Salah satu pengaruh adalah dari budaya Tionghoa. Pada awal abad 20, banyak orang keturunan Tionghoa di Indonesia yang menjadi pengusaha batik.

Tidak seperti batik Belanda yang hanya menonjolkan sisi keindahan, Batik Tionghoa mempunyai banyak ragam hias, komposisi, serta warna yang mempunyai makna dan filosofi. Batik Tionghoa kerap menampilkan ragam hias hewan-hewan, ragam bunga, serta warna-warna cerah yang khas yang mempunyai arti tertentu.

Mari kita mempelajari makna dari ragam hias batik Tionghoa yang tentunya akan menambah pemahaman kita akan kayanya makna yang terkandung dari lembaran kain batik Indonesia

Lasem adalah salah satu daerah yang terletak di pantai utara pulau Jawa, di mana menurut beberapa ahli sejarah merupakan tempat pertama kali para pedagang dari Tiongkok mendarat di Indonesia. Dari Lasem kemudian mereka menyebar ke Kudus, Demak dan daerah-daerah lainnya. Sebagian dari para pedagang Tiongkok tersebut kemudian menetap di Lasem, oleh karena itu sampai sekarang masih dapat dijumpai rumah-rumah tua berpagar tembok yang tinggi dengan tata bangunan khas Tiongkok kuno. Lahirnya Batik Lasem tentu tidak terlepas dari sejarah dan perkembangan keberadaan orang-orang Tionghoa di Lasem. Namun demikian, sejauh ini belum banyak diketahui secara pasti tentang sejarah kapan dimulainya pembatikan di Lasem. Dokumentasi sejarah dan budaya serta tenaga ahli budaya Batik Lasem sangat langka dijumpai

Mengagumi Kemegahan Cirebon di Gedung Pusaka Keraton Kanoman




Di Kompleks Keraton Kanoman terdapat gedung yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan dan merawat benda-benda kuno peninggalan keraton. Berlokasi di Jalan Winaon, Kampung Kanoman, Kecamatan Lemah Wungkuk, Cirebon. Museum yang bernama Gedung Pusaka Keraton Kanoman ini memamerkan segala bentuk benda, mulai dari gamelan, tombak, ukiran dinding, hingga kereta kencana.

Memasuki area museum, pengunjung akan disambut Kereta Kencana Paksi Naga Liman dan Kereta Jempana. Kedua kereta ini dibuat pada tahun 1428 M atas prakarsa Pangeran Losari.

Kereta yang menggunakan kayu sawo sebagai bahan utama pembuatannya ini digunakan terakhir kali pada tahun 1933. Saat itu, Sultan Raja Muhammad Dzulkarnaen atau Sri Sultan Kanoman ke VIII masih memimpin Keraton Kanoman.

Kereta Kencana Paksi Naga Liman memiliki bentuk hewan yang bersayap, berkepala naga, dan memiliki belalai seperti gajah. Bentuk ini mengadopsi 3 budaya sekaligus, yaitu budaya Islam yang disimbolkan dengan burung, Cina dengan kepala naga, dan Hindu yang dilambangkan dengan belalai gajah.

Kereta Paksi Naga liman juga memiliki teknologi yang sangat maju di zamannya. Hal ini terletak pada sayap yang mampu bergerak saat kereta dijalankan. Ini berguna sebagai pendingin saat sultan menaiki kereta ini. Sedangkan Kereta Kencana Jempana merupakan kereta kebesaran Ratu Dalem atau permaisuri kesultanan Cirebon.

Jempana dalam bahasa Cirebon berarti Jemjeming Pengagem Manahayang yang bermakna Keteguhan hati. Ini dimaksudkan agar permaisuri bisa memegang teguh amanat yang diembannya sebagai pendamping Sultan Keraton.

Kereta Jempana juga memiliki ukiran berbentuk mega mendung. Motif ini telah menjadi landasan dalam pembuatan motif batik Cirebon yang telah dikenal seluruh nusantara.

Selain kereta kebesaran, museum ini juga menyimpan benda kuno lainnya, seperti ukiran dinding Paksi Naga Jalma, yaitu manusia yang memiliki rupa burung berbadan manusia dan berkulit naga.

Ada juga koleksi peti yang berasal dari Mesir. Ini dapat dilihat dari hiasan yang terpampang pada bagian luar peti. Dahulu, peti ini digunakan oleh Sunan Gunung Jati dan ibunya Nyai Mas Ratu Raransantang saat hijrah dari Mesir menuju Cirebon.

Di sudut lain museum, kursi berumur hampir 700 tahun terpajang bersama dengan patung cupid pemberian jenderal Inggris Sir Thomas Raffles. Saat masih digunakan, kursi yang diberi nama Gading Gilang Kencana ini diperuntukan bagi Putra Mahkota Kerajaan Padjajaran yaitu Pangeran Walangsungsang. Pangeran Walangsungsang adalah salah satu tokoh cikal bakal adanya kesultanan di Cirebon.

Keraton Kanoman adalah salah satu dari dua bangunan kesultanan Cirebon, setelah berdiri keraton Kanoman pada tahun 1678 M kesultanan Cirebon terdiri dari keraton Kasepuhan dan keraton Kanoman. Kebesaran Islam di Jawa bagian barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I pada sekitar tahun 1678 M. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.

Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektare ini berlokasi di belakang pasar Kanoman. Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama Raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepak bola.

Di keraton ini masih terdapat barang barang, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat kompleks bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.

Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.

Semula bangunan Gedong Pusaka Keraton Kanoman, dibangun sekitar tahun 1800-an dengan sederhana menggunakan bilik bambu, didirikan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka. Kemudian mengalami renovasi terus-menerus pada masa Sultan Kanoman ke-8 Sultan Zulkarnaen, pada tahun 1920, 1976. Pada tahun 1980 di bawah kepemimpinan Sultan Djalaludin, renovasi kembali dilakukan. Barulah sekitar tahun 1997 mengalami renovasi besar-besaran menjadi bangunan permanen atas perintah Sultan Kanoman ke-9 itu.



Kemudian pengelolaan Gedong Pusaka Keraton Kanoman dilanjutkan pada masa Sultan M.Emiruddin, yang pengelolaannya yang diserahkan pada P.R.M. Hamzah sebagai adik dari Sultan M.Emiruddin. Sebagai tempat penyimpanan benda pusaka, yang dimiliki Keraton Kanoman, dan dibuka untuk umum, seperti museum pada umumnya. Biasanya para pengunjung Gedong Museum Keraton Kanoman adalah masyarakat umum, mahasiswa, peneliti, dan tamu mancanegara. Untuk kepentingan studi maupun wisata sejarah. Gedong Pusaka Keraton Kanoman. Museum ini diresmikan tahun 1997 oleh Sultan Kanoman.



Kelir kayu berbentuk segi empat tersandar di dinding Museum Gedung Pusaka Keraton Kanoman, beberapa bagian keropos terkena tetesan air hujan karena atap bangunan yang bocor. Meski kusam, keindahan ukiran pada kelir ini menunjukkan kegarangan tokoh yang digambarkan. Kelir berukir ini berasal dari masa Sultan Kanoman I, Pangeran Badridin Kartawijaya (1677 – 1703).

Kelir berukuran 79,5 cm x 235,5 cm, berfungsi sebagai pembatas ruang. Dihias dengan ukiran terawangan seorang tokoh yang digambarkan dalam posisi berdiri. Dilihat dari atribut yang dikenakan menunjukkan bahwa tokoh tersebut seorang bangsawan. Tokoh digambarkan berkepala burung, berbadan manusia tapi bersisik. Tokoh digambarkan menggunakan hiasan kepala, kelat bahu, gelang tangan dan kaki. Pada latar belakang dipahatkan motif sulur, daun dan bunga. Tokoh digambarkan memakai ikat pinggang berhias batu permata, kedua tangan di depan perut menggenggam tombak pendek. Di dekat kaki tokoh dipahatkan seekor katak.

Tokoh yang tergambar di kelir dikenal dengan sebutan “Paksi Naga Jalma”. Sultan Kanoman I mempercayai dan menghormati makhluk-makhluk mistis. Paksi Naga Jalma dipercaya berkedudukan sebagai panglima yang bertugas menjaga pintu. Katak yang berada di dekat kaki Paksi Naga Jalma merupakan pendamping setianya yang selalu mengikuti. Jika terdengar bunyi mistis “krincing-krincing” dipercaya bahwa makhluk tersebut sedang mengawasi.

Sejarah sing barong




Singa Barong adalah nama kereta pusaka di Kraton Kasepuhan Cirebon, berbentuk barong, sejenis binatang mitologis atau ajaib. Keajaiban wujudnya itu bisa dilihat dari adanya pelbagai unsur, yang merupakan penggabungan antara singa atau macan (tubuh, kaki, mata), gajah (berbelalai), garuda (bersayap), dan naga (mulut yang menyeringai dengan lidah menjulur). Istilah barong itu sendiri, yang banyak terdapat dalam kesenian di pulau Jawa dan Bali, memiliki makna “ajaib”, yaitu seekor binatang bukan yang nyata ditemukan dalam realita kehidupan. Dalam hal Singa Barong, pengambilan keempat jenis binatang itu mungkin terutama berdasar pada makna kekuatan atau keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan belalai yang melingkar ke atas keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga mata-tombak, terdapat di kedua ujung depan dan belakang), yang menambah ekspresi atas kekuatan dan keangkerannya.

Di samping itu, mungkin pula wujud binatang-binatang yang tergabung dalam Singa Barong ini bukan saja karena kekuatan fisiknya, melainkan juga karena simbol-simbol yang bersifat spirititual. Sebagian tokoh di Kraton Kasepuhan, memaknai garuda yang bersayap seperti burak sebagai lambang agama Islam (atau budaya Timur-Tengah), gajah adalah lambang Budha (atau budaya India, Asia Timur dan Asia Tenggara), dan naga adalah lambang Hindu (atau budaya Cina), dan singa adalah lambang Protestan (atau budaya Eropa Barat). Tapi, ada pula budayawan yang memaknainya secara lain, atau komplementer dari pendekatan alam: angin (sayap), api (singa), bumi (gajah), dan air (naga). Lepas dari benar-tidaknya masing-masing perlambangan tersebut, tapi semuanya memberi makna bahwa kekuatan itu, pertama, terletak pada aspek fisik dan jiwa (roh, spirit). Kedua, demi memaksimalkan peralihan kekuatan itu adalah dengan suatu prinsip “penggabungan” (atau “gotong-royong” secara sosial), yang dapat diraih dengan prinsip penerimaan, pengambilan, dan atau penyesuaian dari hal-hal yang berbeda sekalipun—yang dalam kasus Singa Barong adalah singa, garuda, naga, dan gajah di satu sisi, serta Islam, Hindu, Budha, dan Kristen di sisi lainnya.

Penyatuan kekuatan-kekuatan dari beberapa binatang raksasa, yang melambangkan keperkasaan atau keagungan raja, terdapat di banyak tempat—selain kereta itu sendiri merupakan properti yang melambangkan kebesaran. Kraton Kanoman memiliki kereta serupa dengan nama Paksi-Naga-Liman—yang kemudian diadopsi juga oleh kerajaan Sumedang Larang di Pasundan, yang serupa tapi tak sama, tubuhnya bukan singa melainkan naga. Demikian juga Kerajaan Kutai memiliki lambang serupa yang disebut Lembu Swana, kepalanya sama mirip naga-gajah, bersayap, dan bertubuh seperti lembu. Dalam wayang kulit Cirebon, banyak tokoh yang memiliki belalai dengan trisula seperti Singa Barong itu, baik untuk karakter putri, satria, ponggawa, maupun raksasa, yang dalam lakon setempat adalah para senapati dan prajurit Alas Amer, sebuah negara-rimba yang di-babad oleh Pandawa dalam suatu episode Mahabarata. Lambang tersebut di atas bukan hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi juga di Myanmar (Birma), misalnya, serupa dengan “paksi-naga-liman” yang di antaranya dipakai sebagai hiasan rak gendang-besar (mirip rancak gong di Jawa-Bali).

Asal-muasalnya Singa Barong, konon menurut suatu sumber, lahir dari mimpi seorang pangeran di Kraton Cirebon, pada abad 17, yang dalam mimpinya itu ia melihat seekor binatang terbang di angkasa dengan badan singa, muka naga dan berbelalai. Impian itu kemudian diwujudkan dalam bentuk kereta dan selesai dibuat pada tahun Saka 1571, atau tahun Masehi 1649.

Konstruksi Kereta Singa Barong jelas tampak memakai teknologi modern Barat (pada masanya): roda, as, mur-baud, dan sebagian kerangka dari besi. Tapi, bentuk arsitekturalnya sangatlah khas lokal. Ukiran-ukiran yang rumit dibuat sangat halus, dengan motif-motif Cirebonan, seperti pola-pola relung bunga dan wadasan (batu cadas) yang fraktal (tidak geometris).

Teknik suspensinya bukan menggunakan sistem per (pegas) melainkan dari kulit, sedemikian rupa sehingga tubuh Singa Barong itu seperti digendong dengan 4 sabuk-kulit raksasa. Sabuk yang menggendong itu memiliki sudut kemiringan yang berdasar pada perhitungan fisika canggih, sehingga ketika kereta berjalan, getaran dan goyangannya akan sangat minimum, sementara keseimbangan akan tetap terjaga.

Kereta Singa Barong, menurut cerita itu, awalnya ditarik oleh dua pasang kerbau, bukan oleh kuda seperti pada umumnya kereta. Entah bagaimana secara persis memfungsikannya, tapi dengan tarikan kerbau menunjukkan bahwa kereta ini bukan sebagai kendaran angkutan yang cepat, melainkan yang kuat atau kokoh. Ia bukan untuk menempuh jarak jauh, melainkan mungkin hanya untuk pencapaian tempat-tempat penting dalam radius belasan atau 20-an km saja dari istana. Dengan berjalan lambat, keagungan raja (Sultan) yang mengendarainya lebih bisa disaksikan oleh rakyatnya.

Kini, tentu saja, kereta ini tidak lagi dipakai sebagai kendaraan Sultan, tapi terus tersimpan dengan baik sebagai pusaka di ruangan khusus, di museum dalam tembok Kraton Kasepuhan. Pada tahun awal 1990-an, menjelang diselenggarakannya Festival Kraton Nusantara di Cirebon, dibuatkan duplikatnya—bersamaan dengan pembuatan duplikat kereta-kereta kraton lainnya: Paksi Naga Liman dari Kraton Kanoman, dan pembuatan Pedati Gede Pekalangan yang merupakan rekonstruksi, karena kereta tertua ini telah musnah, pembuatannya berdasar pada naskah-naskah sejarah. Duplikat Pedati Gede Pekalangan kini disimpan di Kraton Kacirebonan.

Pada acara kirab (pawai) Festival Kraton Nusantara akhir 26 September 2004 di Yogyakarta, duplikat kereta Singa Barong ini turut pawai dengan ditarik sepasang kerbau, bukan dengan oleh dua pasang seperti yang diceritakan dalam sejarahnya. Dalam acara pembukaan Pesta Topeng Nusantara di Cirebon 16 Oktober 2010, duplikat kereta Singa Barong ini pun dipamerkan, “diarak” dari Kraton Kasepuhan hingga halaman Balai Kota, bersamaan dengan duplikat kereta-kereta kraton lainnya, termasuk Paksi Naga Liman, Pedati Gede Pekalangan, dan Kereta Jempana, tapi semuanya hanya ditarik dan didorong oleh belasan pemuda, bukan dengan kerbau, sapi, ataupun kuda.

Di semua penampilan publik, kereta Singa Barong mendapat perhatian yang khusus, karena wujudnya yang sangat khusus pula. Ia, seperti juga Paksi-Naga-Liman Kanoman, seolah telah jadi ikon budaya Cirebon. Dalam ukiran kayu, lukisan kaca, dan motif batik, Singa Barong banyak muncul. Demikian juga pada acara pawai kampung, seperti arak-arakan untuk sidekah bumi, khitanan dan pernikahan, Singa Barong biasa dibuat, dengan cara dan fungsinya yang berbeda-beda.

Para peneliti Belanda pun sejak jaman kolonial telah menaruh perhatian yang besar padanya. Beberapa uraian dan foto-foto bisa ditemukan di pelbagai sumber. Kini, di museum Kraton Kasepuhan Cirebon, kedua kereta yang asli dan duplikat disimpan berdampingan. Hanya dengan melihatnya secara dekat kita bisa melihat dan membandingkannya secara teliti. Perbedaan dari keduanya terletak pada dua hal: secara fisik dan jiwa, yang tampak dan yang tak tampak. Walau bentuk keduanya sangat mirip, sulit dibedakan karena yang baru pun tampak tua, dan keduanya biasa diberi sesaji, tapi bagi masyarakat yang mempercayai kekuatan kepusakaannya, lebih menaruh penghormatan pada yang asli.



Seni Kolosal Gending Paksi Naga Liman



Perpaduan asimilasi dan pluralisasi kebudayaan diwujudkan dalam sebuah pertunjukan kolosal seni musik dan tari. Bertajuk Gending Paksi Naga Liman, memadukan laras pentatonik dan diatonik, pelog dan slendro, juga degung. Disisipi musik khas Tiongkok, Arab dan India sehingga menjadi pertunjukan yang unik, prigel dan nyaman dipandang




PERGELARAN seni kolosal Gending Paksi Naga Liman oleh Yayasan Cahya Widi itu menampilkan Kereta Paksi Naga Liman yang merupakan kendaraan dari Keraton Kanoman Cirebon. Dahulu, kereta ini digunakan Raja Keraton Kanoman untuk mengahadiri upacara kebesaran. Kolosal memperlihatkan tarian-tarian dan juga musik-musik diiringi dengan penjelasan-penjelasan sejarah mengenai Paksi Naga Liman itu sendiri.

Seperti yang diketahui, kereta pusaka Paksi Naga Liman merupakan kendaraan utama Kerajaan Singhapura (1042-1440 M/936-1367 Caka) hingga masa Kesultanan Cirebon. Kereta kencana dengan inspirasi dari kendaraan perang Bathara Indra, yang diyakini telah ada sejak masa Pangeran Cakra Bhuana tertulis pada Candra Sangkala (1428 M/1350 Caka) yang digunakan untuk menyerang Kerajaan Galuh (1528 M).

Kemudian temurun ke Kerajaan Cirebon dan juga digunakan oleh Sunan Gunung Jati dan menjdi kereta kebesaran Kerajaan Cirebon dan diteruskan oleh Panembahan Cirebon hingga Sultan Kanoman saat ini. Sempat mengalami reparasi oleh Pangeran Losari yang juga merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati.

“Dibalik kemegahannya tersimpan pesan adiluhung dan sarat makna,” ujar Ketua Yayasan Cahaya Widi dan juga Pangeran Patih Keraton Kanoman Cirebon, Pangeran Raja Mochamad Qodiran.

Makna dari kolosal ini dapat dilihat dari nama keretanya sendiri. Yakni kata Paksi yang artinya badan bersayap adalah burung sebagai kendaraan Bathara Wisnu. “Ini berisi pesan serta penanda simbol negeri Timur Tengah dan Unsur Islam yang diturunkan di Timur Tengah,” kata Patih.

Kemudian Naga (kepala bermahkota) yang merupakan perwujudan dari penguasa Caruban. Telah mahfum sebagai simbolisasi atas negeri Tiongkok dan kandungan anasir Buddha. Selanjutnya Liman (belalai) adalah gajah simbol Ganesha sebagai putra Dewa Syiwa dari negeri Hindustan India yang juga pengaruh unsur Hindu.

Bahkan, berkembang penafsiran atas makna Paksi Naga Liman yang mengisyaratkan kejayaan kedaulatan. Burung penjaga kedaulatan di udara (Jaya Dirgantara) , Naga penjaga kedaulatan laut (Jaya Bahari) dan Gajah penjaga kedaulatan di darat (Jaya Bhumi).

“Secara keseluruhan, Paksi Naga Liman adalah simbol Cirebon sebagai negeri tempat terjadinya asimilasi dan pluralisasi dari tiga kebudayaan serta menempatkan Cirebon pada puncak keunggulan peradaban pada masanya,” pungkasnya.

GENDING PAKSI NAGA LIMAN

Sebuah pertunjukan Musik dan Tari bertajuk GENDING PAKSI NAGA LIMAN, telah digelar pada sabtu,16 September 2017. Pergelaran dilakukan dalam rangkaian kegiatan FKN XI. Gelaran itu menarik karena gendingnya memadukan laras pentatonic dan diatonic, pelog, slendro dan juga degung. Tidak kalah menarik dengan masuknya sisipan musik khas China, Arab, dan India, sehingga menjadi pertunjukan yang unik, prigel dan nyaman dipandang

“Kereta kencana nan megah itu di inspirasi dari kendaraan perang bathara indra, yang diyakini telah ada sejak masa Pangeran Cakra Bhuana. Itu tertulis pada Candra Sangkala (1428M/1350 Saka)

Paksi Naga Liman sendiri diambil dari nama sebuah kereta pusaka Paksi Naga Liman yang merupakan kendaraan utama Kerajaan Singhapura (1042-1440 M/ 936-1367 Saka). Dan tetap digunakan hingga masa Kesultanan Cirebon. Kereta kencana nan megah itu di inspirasi dari kendaraan perang bathara indra, yang diyakini telah ada sejak masa Pangeran Cakra Bhuana. Itu tertulis pada Candra Sangkala (1428M/1350 Saka) yang juga digunakan untuk menyerang kerajaan Galuh ( 1528 M ). Kemudian secara tutun temurun digunakan oleh Sunan Gunung Jati. Yang pada akhirnya menjadi kereta kebesaran Kerajaan Cirebon. Dan diteruskan oleh Panembahan Cirebon hingga Sultan Kanoman saat ini. Sempat mengalami perbaikan/reparasi oleh Pangeran Losari, yang merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati.

Kereta pusaka Paksi Naga Liman merupakan mahakarya seni yang memadukan konsep berkendaraan masa lalu namun mengguratkan sebagai karya agung yang futuristik, megah dengan nilai estetika tinggi. Namun dibalik kemegahannya, tersimpan pesan adiluhung yang sarat makna, diantaranya yaitu ;

Paksi (badan bersayap) adalah simbol burung. Yang merupakan kendaraan Bathara Wisnu yang juga berisi pesan dan penanda simbol negeri Timur Tengah dengan unsur Islamnya.

Naga (kepala bermahkota) hewan naga adalah perwujudan dari penguasa caruban yang dinamakan mang. Selain telah mahfum naga sebagai simbolisasi atas negeri Tiongkok (China), dan kandungan anasir Budha.

Liman (belalai) adalah gajah perlambang Ganesha putra Dewa Syiwa dari negeri Hindustan India, yang juga pengaruh unsur Hindu.

Pada akhirnya kereta Paksi Naga Liman menjadi simbol Cirebon sebagai negeri tempat terjadinya asimilasi dan pluralisasi dari tiga kebudayaan. Hal ini menempatkan Cirebon pada puncak keunggulan peradaban pada masanya. Bahkan berkembang penafsiran atas makna Paksi Naga Liman yang mengisyaratkan kejayaan kedaulatan., Burung penjaga kedaulatan di udara (Jaya Dirgantara), Naga penjaga kedaulatan laut (Jaya Bahari) dan Gajah penjaga kedaulatan di darat (Jaya Bhumi).




Simbol Tiga Budaya

Untuk mengadakan Festival Budaya Cirebon 2018 mengambil tema Kereta Kencana Paksi Naga Liman, simbol kejayaan Cirebon di masa silam. Paksi naga liman juga merupakan warisan pusaka dari Cirebon. Kereta kencana ini adalah kereta milik Keraton Kanoman yang sering digunakan dalam berbagai upacara kebesaran.

Dalam Paksi Naga Liman, terdapat makna tersembunyi yang menjadi nafas Festival Budaya Cirebon. Yaitu perpautan tiga jenis hewan yang masing-masing melambangkan kebudayaan yang berbeda. Paksi atau burung garuda mewakili budaya Islam, ular naga untuk melambangkan budaya Cina, serta liman atau gajah yang mewakili budaya India.

merupakan tema yang diangkat dalam Festival Keraton Nusantara (FKN) ke XI tahun 2017 di Cirebon. Kereta milik Kasultanan Kanoman Cirebon ini menjadi kebanggaan masyarakat Cirebon.

Dalam pemeliharaannya, Paksi Naga Liman sempat mengalami perbaikan oleh pangeran Losari yang merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati. Dia menjelaskan, Paksi Naga Liman merupakan karya seni yang dipadukan dengan konsep kendaraan masa lalu, tetapi berhasil menginspirasi karya-karya futuristik, megah, dan memiliki nilai estetika yang tinggi.

Di balik kemegahannya, lanjut Patih Qodiran, tersimpan pesan yang sarat makna pada sosok Paksi Naga Liman. Paksi yang merupakan burung dengan badan bersayap adalah penanda simbol negeri Timur Tengah dan unsur Islam yang diturunkan di Timur Tengah.

Sementara naga berbentuk kepala bermahkota hewan naga merupakan wujud penguasa Caruban yang dinamakan Mang. "Sosok Mang juga telah mafhum (paham) sebagai simbolisasi atas negeri Tiongkok dan kandungan anasir (pemahaman) Buddha," jelas dia.

Liman (belalai) adalah bagian dari gajah yang merupakan simbol Ganesha sebagai putra Dewa Syiwa dari negeri India. Simbol ini menggambarkan unsur agama Hindu.

Patih Qodiran menambahkan Paksi Naga Liman adalah simbol Cirebon sebagai negeri tempat terjadinya asimilasi dan pluralisasi dari tiga kebudayaan, serta menempatkan Cirebon pada puncak keunggulan peradaban pada masanya.

Kamis, 19 Desember 2019

Tips dan Saran Jika Hendak Berkunjung ke Keraton Kanoman “Paksi Naga Liman”







Keraton Kanoman didirikan pada tahun 1678 oleh Sultan Kanoman I (Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya). Di Keraton Kanoman masih melaksanakan tradisi Grebeg Syawal dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana. Keraton Kanoman ini memiliki luas sekitar 6 hektar.


Lokasi Keraton Kanoman terletak di belakang pasar Kanoman. JalanJajanHemat (JJH) sempat kesulitan saat mencari lokasinya. Kami harus melewati pasar dahulu, dan bertanya kepada pedagang di pasar, karena tidak terdapat petunjuk arah menuju ke Keraton ini. Baru setelah keluar pasar dan melewati lapangan, kami sampai ke keraton. Wah cukup menyulitkan untuk wisatawan, apalagi wisatawan mancanegara. Gerbang keraton dihiasi piring keramik dari Tiongkok, dan terdapat beberapa kandang mini yang berisi binatang peliharaan.


Tips Masuk Keraton Kanoman


Kalo berkunjung ke Kraton, disarankan memakai jasa pemandu wisata lokal supaya bisa dapat info dan cerita cerita menarik tentang Kraton. Biasanya para pemandu wisata lokal, banyak ditemui nongkrong di depan gerbang Kraton. Jalan Jalan ke Cirebon, ga lengkap kalo ga berkunjung ke Kratonnya.


Alamat, Kraton Kanoman : Jl. Winaon, Kp Kanoman. Kraton Kanoman Harga Tiket Rp 15.000 / weekday , Rp 20.000 / weekend. Jam Buka: Tiap hari 08.00 -- 17.30 . Fee Pemandu : Rp 50.000/jam) .


Saran jika ke Keraotn Kanoman


Jika kita ingin berkunjung ke Keraton Kanoman ini Hendaknya memakai pakaian yang sopan dan pakai celana atau rok yang dibawah lutut jika tidak kalian harus memakai kain batik dan diiketkan ke pinggang seperti kalian memakai sarung. Saya diantar oleh pemandu melihat Bangsal Jinem , tempat Sultan bertemu tamu kerajaan. Bangunan yang interiornya didominasi warna biru ini cukup luas untuk menerima tamu-tamu penting. Berasa jadi tamu kerajaan deh.


Pas mau melihat bagian Keraton lebih dalam, kami berjumpa dengan Sultan Kanoman Cirebon ke-12 ( Kanjeng Gusti Muhammad Emirrudin ). Sempet grogi, tapi langsung salim aja kayak ke orang tua sambil memperkenalkan diri. Beliau orangnya ramah, mempersilahkan melihat-lihat kraton. Tadinya mau diajak selfie, tapi kok kayaknya gak sopan ya. Senang aja bisa ketemu. Sultan dan keluarga tinggal di Keputren, yang tidak boleh dimasukin orang sembarangan. Sultan ini hobby nya memelihara binatang. Mulai dari kucing, Ayam, Burung sampai monyet ada disana. Pas kelilingan sempat disambut oleh monyet kecil peliharaan Sultan cute banget deh.


Lalu pemandu mengajak menelusuri Keraton lebih dalam, mulai dari Siti Hinggil, Candi Bentar, Pancanitri dan Pancatantra, tempat menerima tamu , dll.

Keraton seluas 5 hektar ini sendiri dikelilingi oleh perumahan biasa. Dan di depannya ada Pasar Kanoman. Agak lumayan kalau mau eksplor semuanya. Jadi liat yang penting-penting aja.


keunikan Keraton Kanoman adalah banyaknya sumur. Setiap sumur punya khasiat masing-masing. Mulai dari Sumur Kejayaan, Sumur untuk mencuci pusaka Keraton, Sumur Jodoh sampai sumur anti santet. Biasanya pada waktu-waktu tertentu, banyak orang berkunjung buat mandi di sumur-sumur itu sesuai dengan keperluannya. Dari rakyat jelata, sampai pejabat tinggi mandi disitu. pemandu memberikan kepercayaan supaya semuanya dikunjungi sambil menjelaskan khasiatnya.


Kami juga disuruh mandi, tapi tidak ah. Cuman penasaran aja senang nimba air dan ngecek airnya kayak apa, sampai orang mau repot-repot mandi disana. Airnya rata-rata adem menyejukkan. padahal cuaca Cirebon panas banget lho. Jadi adem pas cuci muka pake air sumur.


Perjalanan






Seperti halnya kalo jalan jalan pertama kali ke Yogyakarta, belum lengkap kalo belum berkunjung ke Kratonnya, apalagi jika Anda termasuk penyuka hal berbau sejarah dan budaya. Begitupun kalo berwisata ke Cirebon ga lengkap kalo belum ke Kratonnya.


Kesultanan Cirebon adalah sebuah Kerajaan Islam terbesar di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, yang punya pengaruh hingga berbagai penjuru Pulau Jawa hingga Sumatera. Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Kesultanan Cirebon dan peran Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) sebagai penyebar agama Islam. Jadi kalo kita berkunjung ke Kraton Kraton di Cirebon, kita bisa ikut merasakan jejak kejayaan kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa.


Di Cirebon ada 4 Kraton sekaligus yang berada di dalam kota : Kraton Kasepuhan (dari kata Sepuh= Tua), dan Kraton Kanoman ( dari kata Anom=muda), Kraton Kacirebonan, dan Kraton Keprabonan. Nah kalo mau coba berwisata ke Kraton di Cirebon, dua Kraton Kasepuhan dan Kraton Kanoman adalah dua kraton yang paling recommended untuk dikunjungi, antara lain karena letak kedua kraton ini hanya berjarak 1 km saja


Di dalam komplek kraton ini juga ada Museum Singa Barong yang menyimpan kereta kencana (Kereta Singa Barong) yang dahulu sering digunakan keluarga raja , dan desainnya punya pengaruh dari tiga bangsa. Kereta Singa Borong ini konon merupakan kereta kencana kerajaan tercantik di dunia, versi seorang Belanda yang ahli reparasi kereta kerajaan di berbagai dunia.


Sedangkan di Kraton Kanoman, kita bisa melihat banyak barang barang peninggalan Sunan Gunung Jati, termasuk sumur sumur yang dahulu sering ia gunakan.


Di dalam Kraton Kanoman ini, kita bisa masuk (dan berselfie ria) hingga ke halaman belakang juga ke dalam area utama tempat terdapat singgasana Sang Raja. Jadi kita bisa duduk duduk di area singgasana, itung itung ngerasain jadi Raja dan Ratu sehari ala Kraton Cirebon.


Yang unik itu, di semua interior termasuk pada gambar ubin dan dinding dinding Kraton ada banyak terlihat pengaruh Arab, Cina dan Belanda yang menujukkan Kesultanan Cirebon pada masa jayanya sangat terbuka dengan berbagai pengaruh budaya asing, makanya dinamakan Cirebon (dari kata Caruban = bersatu padu).


Di bagian halaman belakang Kraton Kanoman, juga terdapat situs Sumur yang dahulu digunakan Sunan Gunung Jati. Disana ada tiga sumur yang dipercaya punya khasiat tertentu jika kita membasuh atau mandi dengan air dari sumur tersebut.


Ada sumur yang airnya berkhasiat awet muda, ada sumur yang berkhasiat enteng jodoh, dan ada sumur yang berkhasiat kejayaan, dan kata sang pemandu sering dikunjungi oleh orang orang yang sedang nyaleg atau nyalon jadi pemimpin daerah tertentu...wuuuiih... mumpung lagi berada disana, jadi saya dan beberapa temen blogger juga nyobain membasuh air dari ketiga sumur...ya siapa tau aja beneran berkhasiat awet muda, enteng jodoh, dan berjaya


Sedangkan saat di Kraton Kanoman, saya bertemu dengan dua anak keluarga Kraton, yang sedang asyik bermain sepedahan di halaman belakang. Saya juga tadinya gak ngeh kalau anak anak itu keluarga kraton, kalau gak dikasi tau sang Pemandu Wisata yang mendampingi kami.Ternyata anak anak dari keluarga kraton ga beda jauh dengan anak anak tetangga di komplek rumah saya, sama sama suka main sepedahan.

Sumber:
1.https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01294059/jika-berwisata-sejarah-1-hari-di-cirebon-harus-ke-mana-420278
2.https://ihategreenjello.com/pesona-keindahan-obyek-wisata-keraton_34/
3.https://www.google.com/search?q=tips+dan+saran+masuk+keraton+kanoman&oq=tips+dan+saran+masuk+keraton+kanoman&aqs=chrome..69i57.10617j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8












SEJARAH KERETA KENCANA KANJENG NYAI JIMAT

Sejarah Kereta Kencana Kanjeng Nyai Jimat



   Kereta kencana Kanjeng Nyai Jimat adalah kereta kencana keraton Ngayogyakarta yang digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) hingga Sri Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814). Dari sekian kereta yang ada, yang tertua adalah kereta pusaka bergelar Kanjeng Nyai Jimat. Kereta Kanjeng Nyai Jimat dibuat di Belanda antara tahun 1740-1750. Berdasar catatan yang ada, Kereta Kanjeng Nyai Jimat merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750-1761) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I, setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Bentuk dan gaya Kereta Kanjeng Nyai Jimat sama dengan kereta buatan Eropa. Di Eropa, kereta dengan bentuk dan bergaya Renaissance macam itu merupakan kereta yang digunakan oleh bangsawan kelas tertinggi atau para raja. Kereta dengan model dan bentuk yang sama, serta dengan usia yang kurang lebih sama terdapat pula di Keraton Kasunanan Surakarta, dengan nama Kereta Kiai Gurdo. Baik Kereta Kanjeng Nyai Jimat maupun Kereta Gurdo masing-masing digunakan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti.
Setelah dipensiunkan sebagai kereta kencana Sultan, kereta kanjeng Nyai Jimat disimpan di keraton sebagai kereta pusaka Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kereta pusaka, setiap tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sura, Kereta Kanjeng Nyai Jimat dikeluarkan dari Museum Keraton untuk dibersihkan.
Menurut mitos dan legenda turun temurun, kereta kencana Kanjeng Nyai Jimat diperoleh dari Laut Selatan, oleh seorang abdi dalem keraton yang tengah memancing di Laut Selatan. Ketika kailnya menyangkut sesuatu, saat ditarik ternyata sebuah kereta kencana. Kereta ini konon berasal dari salah satu kerajaan di India. Kereta milik raja ini sengaja dilarung di laut sabagai syarat untuk mengusir wabah kolera yang menyerang rakyatnya. Kereta yang dilarung itu akhirnya sampai di Laut Selatan, sebelum ditemukan abdi dalem keraton Yogya.
Selain Kereta Kanjeng Nyai Jimat, terdapat kereta kencana lain yang bernama Kereta Kiai Garuda Yeksa. Kereta Kiai Garuda Yeksa bertarikh 1861, dibuat di Amsterdam, Belanda. Kereta ini dipergunakan sejak masa Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877), saat ini hanya digunakan dalam prosesi penobatan sultan. Kereta Kiai Garuda Yeksa dibuat oleh pabrik dan mempunyai model yang sama dengan kereta kencana yang digunakan Kerajaan Belanda, yang bergelar Gouden Koets (Kereta Emas). Gouden Koets mulai digunakan pada tahun 1899, dan sampai sekarang masih digunakan Ratu Belanda setiap tahun untuk upacara kebesaran.
Kereta Kiai Garuda Yeksa adalah kereta yang ditarik delapan ekor kuda, hadiah Ratu Wilhelmina kepada Sultan Hamengkubuwono VI. Di pintu kereta masih terlihat logo kerajaan Belanda bersanding dengan logo Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Ornamen hiasan berbentuk mahkota di bagian atas kereta Kiai Garuda Yeksa disepuh dengan emas asli, yang menunjukkan wibawa dari seorang pemimpin kerajaan yang makmur dan sejahtera. Seluruh bagian kereta beserta ornamen-ornamennya masih terjaga keasliannya.
Pada masa lalu, kereta-kereta ini digunakan untuk keperluan sehari-hari Sultan atau keluarga inti Sultan. Hanya ada satu kereta yang tidak khusus digunakan untuk Sultan atau keluarga inti Sultan, yaitu Kereta Premili. Kereta Premili mulai digunakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dipergunakan khusus untuk kereta pengangkut penari-penari Kasultanan Yogyakarta.
Lebih dari separuh koleksi kereta Keraton Yogyakarta merupakan produksi dari Belanda. Lima belas di antaranya merupakan kereta yang diperoleh oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sri Sultan Hamengku Buwono VII memperoleh sepuluh kereta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memperoleh lima kereta. Sisanya diperoleh dari Sri Sultan Hamengku Buwono I (Kereta Kanjeng Nyai Jimat), Sri Sultan Hamengku Buwono III (Kereta Mandra Juwala), Sri Sultan Hamengku Buwono IV (Kereta Kiai Jaladara dan Kereta Manik Retna), dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Kereta Wimanaputra, Kereta Notopuro, Kereta Harsunaba, Kereta Kiai Garuda Yeksa).
Dari sepuluh kereta yang diperoleh Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921), delapan diantaranya adalah buatan Spyker, Amsterdam, dengan tahun perakitan 1901. Pabrik yang sama pada tahun 1898 membuat Kereta Emas yang digunakan oleh Ratu Wilhelmina.
Meskipun kebanyakan kereta diproduksi di luar negeri, namun bahan baku untuk membangun kereta tersebut adalah bahan baku berkualitas yang diambil dari Hindia Belanda. Kayu, karet, timah, dan logam yang digunakan untuk membangun kereta-kereta tersebut adalah bahan-bahan yang didatangkan dari hutan dan perkebunan yang terletak di Jawa dan Sumatera. Salah satu pendiri pabrik Spyker, Hendri Jan Spijker, sendiri pernah tinggal untuk beberapa waktu di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Selain produksi Belanda, sejumlah kereta adalah produksi dari Inggris dan Jerman. Ada juga yang diproduksi oleh bengkel di Yogyakarta dan Semarang. Satu kereta dari Inggris adalah Kereta Mandra Juwala (buatan tahun 1814, ditarik dua ekor kuda), digunakan oleh Pangeran Diponegoro ketika menjadi wali Sri Sultan Hamengku Buwono IV ketika berunding dengan Inggris. Satu kereta dari Jerman adalah Kereta Kuthaka Raharja yang dibuat di Berlin tahun 1927, kereta yang ditarik dua ekor kuda ini digunakan oleh Raden Mas Dorodjatun sebelum diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Empat kereta buatan dalam negeri semuanya dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Masing-masing kereta tersebut adalah, Kereta Kapulitin (dirakit di Yogyakarta, 1925, kereta pesiar Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, kereta ditarik dua ekor kuda), Kereta Premili (dirakit di Semarang, 1921, kereta untuk angkutan para penari kerajaan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Jatayu (dibuat di Yogyakarta, 1931, kereta untuk kendaraan putri-putri Sultan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Rata Pralaya (dibuat di Yogyakarta, 1938, kereta untuk prosesi pemakaman, ditarik delapan ekor kuda).
Kecuali Kereta Kanjeng Nyai Jimat, Kiai Garuda Yeksa, Rata Pralaya, dan Premili, kereta-kereta koleksi Kasultanan Yogyakarta adalah kereta yang difungsikan sebagai moda transportasi harian sampai dengan tahun 1930-an. Kereta-kereta tersebut didekasikan untuk keperluan sehari-hari Sultan dan putra-putrinya. Setelah transportasi modern seperti mobil dan sepeda motor menjadi lebih populer dari kereta kuda, Kasultanan Yogyakarta tidak menambah lagi koleksi kereta kerajaan.
Salah satu contoh penggunaan kereta kuda Kasultanan Yogyakarta sebagai bagian dari prosesi kebudayaan, adalah prosesi kirab pernikahan putri keempat Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 pada tahun 2013. Proses tersebut menggunakan 12 kereta kuda koleksi kerajaan untuk prosesi kirab pernikahan. Untuk menarik 12 kereta koleksi kerajaan pada prosesi kirab pernikahan putriSultan tersebut, Kasultanan Yogyakarta mendatangkan tiga kavaleri pasukan berkuda milik Polri yang bermarkas di Bandung. Kereta-kereta tersebut digunakan oleh mempelai, keluarga Sri Sultan, keluarga besan, dan Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 beserta permaisuri. Kereta yang digunakan dalam prosesi seperti ini adalah kereta-kereta yang dulu berfungsi sebagai kereta pesiar untuk Sultan dan putra-putrinya.
Seluruh kereta-kereta tersebut setiap hari dirawat dan dibersihkan oleh para Abdi Dalem Kanca Rata. Abdi Dalem ini pula yang akan mempersiapkan kereta-kereta tersebut apabila hendak digunakan. Perawatan sehari-hari yang dilakukan adalah menutup kereta dengan kain putih bersih setiap sore, dan membukanya pada pagi hari. Setiap pagi kereta-kereta tersebut dibersihkan dari debu dan kotoran yang menempel. Pembersihan seperti Jamasan hanya dilaksanakan setiap tahun sekali. Renovasi seperti penggantian bagian dari kereta atau pengecatan ulang kereta dilakukan di bengkel-bengkel yang sudah dipercaya oleh Keraton Yogyakarta. Bengkel yang biasanya dipercaya oleh Keraton Yogyakarta tersebut terdapat di Sleman dan di Bantul.
Sais dan pengawal kereta tampak mengenakan seragam model Eropa.
Sais dan pengawal kereta pada saat prosesi upacara-upacara khusus Keraton menggunakan seragam yang mirip dengan seragam pasukan kavaleri Eropa. Seragam tersebut meliputi baju kurung (berwarna merah, hijau, dan hitam dengan motif garis kuning), celana panjang (berwarna putih, merah, dan hitam), sepatu, dan topi. Seragam ini disesuaikan dengan model kereta yang mengikuti model Eropa.
Koleksi kereta Kasultanan Yogyakarta menunjukkan bahwa Kasultanan Yogyakarta terlibat dalam pergaulan global, mengikuti tren yang berkembang di Eropa pada masanya. Meskipun begitu, dalam penggunaan dan perawatannya Kasultanan Yogyakarta tidak menanggalkan unsur-unsur dalam kebudayan Jawa yang berkaitan dengan kepercayaan. Seperti misalnya, ritual yang dilakukan tiap kali upacara Jamasan berlangsung.

SINGA BARONG MEMBUAT SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Singa Barong Membuat Sejarah, Cerita, Legenda & Mitos



   Apa itu Singo Barong? Menurut beberapa sumber, tokoh Singo Barong (singa raksasa) yang merupakan tokoh utama dalam kesenian barongan, merupakan visualisasi dari semangat para pejuang itu. Boleh jadi para pejuang terinspirasi oleh keberanian dan ideologi Gembong Amijoyo yang merupakan figur asli dari jelmaan Singo Barong. Lirik selanjutnya dari pantun kilat tersebut, barongan moto beling merupakan gambaran sepasang mata Singo Barong yang dibuat dari kelereng berukuran besar dan berbahan dasar kaca. Parikan ini ingin menyatakan bahwa semangat perjuangan anak bangsa tak mengenal kompromi dalam melawan penjajah Belanda. Hal ini semakin jelas apabila kita mendengar lirik selanjutnya ndhas pethak ditempiling. Menggambarkan semangat para seniman yang waktu itu ingin sekali menempeleng kepala para pejabat Belanda yang kebanyakan berkepala botak. Barongan Blora sendiri dibawa dan dikembangkan oleh Samin Suro Sentiko setelah tinggal di Sumoroto, Ponorogo, tempat leluhurnya dimana nama Reyog di sumoroto saat itu lebih populer dikenal Barongan. dari segi bentuk saat itu juga kepala Reyog dengan mulut terbuka dengan mahkota merak yang besar, namun saat di Blora sangat sulit untuk mendapatkan bulu merak, sehingga di ganti dengan bahan ijuk yang di bentuk seperti dadak merak dan di selipkan beberapa bulu merak saja di ijuk sebagai rambut barongan blora. Samin suro sentiko ke Sumoroto atas perintah ayahnya untuk menemui saudaranya disaat namanya masih Raden Kohar. selama di Sumoroto, Suro Sentiko berganti nama yang sebelumnya raden kohar atas saran saudaranya, serta mendapatkan berbagai pengetahuan seperti bertani, kebathinan, bela diri, barongan serta pemahaman masyarakat Sumoroto yang anti Belanda, terutama kalangan warok. Barongan dari Sumoroto dibawa ke Blora sebagai media menarik simapti rakyat Blora untuk hidup lebih mandiri dan menolak kesewenangan yang merugikan rakyat. Dalam perkembangannya, propreti Barongan Blora selalu mengikuti propreti Barongan Ponorogo, dari busana, gerakan, dan sebagaian musik. seperti barongan yang di perankan oleh dua orang, kini hanya di lakukan satu orang saja serta kepala baronga yang botak di tengah. Pemerintah Blora mendeklarasikan Barongan Blora sabagai kesenian Khas Blora, meskipun di kota jawa tengah lainnya sendiri masih banyak terdapat group Barongan yang diperankan oleh dua orang, alias Reyog Tradisonal. Tokoh  Singo Barong Joko Lodro (kelana Sewandana) Jathilan perempuan (dahulu diperankan oleh remaja laki-laki) Bujang Ganong Seorang Warok (pawang dengan cambuknya) Budaya Apalagi, beberapa budaya tradisi mensyaratkan keterlibatan kesenian barongan di dalamnya. Tradisi lamporan—ritual tolak bala misalnya, mengharuskan keterlibatan barongan. Bahkan, justru Singo Barong yang dianggap sebagai pengusir tolak bala. Tak mengherankan bila kesenian barongan sangat populer dan sangat lekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Blora. Mereka beranggapan bahwa barongan telah berhasil mewakili sifat-sifat kerakyatan mereka, seperti spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, tegas, kekompakan, dan keberanian yang didasarkan pada kebenaran.
Dalam hal Singa Barong, pengambilan keempat jenis binatang itu mungkin terutama berdasar pada makna kekuatan atau keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan belalai yang melingkar ke atas keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga mata-tombak, terdapat di kedua ujung depan dan belakang), yang menambah ekspresi atas kekuatan dan keangkerannya.
Di samping itu, mungkin pula wujud binatang-binatang yang tergabung dalam Singa Barong ini bukan saja karena kekuatan fisiknya, melainkan juga karena simbol-simbol yang bersifat spirititual. Sebagian tokoh di Kraton Kasepuhan, memaknai garuda yang bersayap seperti burak sebagai lambang agama Islam (atau budaya Timur-Tengah), gajah adalah lambang Budha (atau budaya India, Asia Timur dan Asia Tenggara), dan naga adalah lambang Hindu (atau budaya Cina), dan singa adalah lambang Protestan (atau budaya Eropa Barat). Tapi, ada pula budayawan yang memaknainya secara lain, atau komplementer dari pendekatan alam: angin (sayap), api (singa), bumi (gajah), dan air (naga). Lepas dari benar-tidaknya masing-masing perlambangan tersebut, tapi semuanya memberi makna bahwa kekuatan itu, pertama, terletak pada aspek fisik dan jiwa (roh, spirit). Kedua, demi memaksimalkan peralihan kekuatan itu adalah dengan suatu prinsip “penggabungan” (atau “gotong-royong” secara sosial), yang dapat diraih dengan prinsip penerimaan, pengambilan, dan atau penyesuaian dari hal-hal yang berbeda sekalipun—yang dalam kasus Singa Barong adalah singa, garuda, naga, dan gajah di satu sisi, serta Islam, Hindu, Budha, dan Kristen di sisi lainnya. 
Penyatuan kekuatan-kekuatan dari beberapa binatang raksasa, yang melambangkan keperkasaan atau keagungan raja, terdapat di banyak tempat—selain kereta itu sendiri merupakan properti yang melambangkan kebesaran. Kraton Kanoman memiliki kereta serupa dengan nama Paksi-Naga-Liman—yang kemudian diadopsi juga oleh kerajaan Sumedang Larang di Pasundan, yang serupa tapi tak sama, tubuhnya bukan singa melainkan naga. Demikian juga Kerajaan Kutai memiliki lambang serupa yang disebut Lembu Swana, kepalanya sama mirip naga-gajah, bersayap, dan bertubuh seperti lembu. Dalam wayang kulit Cirebon, banyak tokoh yang memiliki belalai dengan trisula seperti Singa Barong itu, baik untuk karakter putri, satria, ponggawa, maupun raksasa, yang dalam lakon setempat adalah para senapati dan prajurit Alas Amer, sebuah negara-rimba yang di-babad oleh Pandawa dalam suatu episode Mahabarata. Lambang tersebut di atas bukan hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi juga di Myanmar (Birma), misalnya, serupa dengan “paksi-naga-liman” yang di antaranya dipakai sebagai hiasan rak gendang-besar (mirip rancak gong di Jawa-Bali).
Asal-muasalnya Singa Barong, konon menurut suatu sumber, lahir dari mimpi seorang pangeran di Kraton Cirebon, pada abad 17, yang dalam mimpinya itu ia melihat seekor binatang terbang di angkasa dengan badan singa, muka naga dan berbelalai. Impian itu kemudian diwujudkan dalam bentuk kereta dan selesai dibuat pada tahun Saka 1571, atau tahun Masehi 1649.
Konstruksi Kereta Singa Barong jelas tampak memakai teknologi modern Barat (pada masanya): roda, as, mur-baud, dan sebagian kerangka dari besi. Tapi, bentuk arsitekturalnya sangatlah khas lokal. Ukiran-ukiran yang rumit dibuat sangat halus, dengan motif-motif Cirebonan, seperti pola-pola relung bunga dan wadasan (batu cadas) yang fraktal (tidak geometris). 
Teknik suspensinya bukan menggunakan sistem per (pegas) melainkan dari kulit, sedemikian rupa sehingga tubuh Singa Barong itu seperti digendong dengan 4 sabuk-kulit raksasa. Sabuk yang menggendong itu memiliki sudut kemiringan yang berdasar pada perhitungan fisika canggih, sehingga ketika kereta berjalan, getaran dan goyangannya akan sangat minimum, sementara keseimbangan akan tetap terjaga.
Kereta Singa Barong, menurut cerita itu, awalnya ditarik oleh dua pasang kerbau, bukan oleh kuda seperti pada umumnya kereta. Entah bagaimana secara persis memfungsikannya, tapi dengan tarikan kerbau menunjukkan bahwa kereta ini bukan sebagai kendaran angkutan yang cepat, melainkan yang kuat atau kokoh. Ia bukan untuk menempuh jarak jauh, melainkan mungkin hanya untuk pencapaian tempat-tempat penting dalam radius belasan atau 20-an km saja dari istana. Dengan berjalan lambat, keagungan raja (Sultan) yang mengendarainya lebih bisa disaksikan oleh rakyatnya.
Kini, tentu saja, kereta ini tidak lagi dipakai sebagai kendaraan Sultan, tapi terus tersimpan dengan baik sebagai pusaka di ruangan khusus, di museum dalam tembok Kraton Kasepuhan. Pada tahun awal 1990-an, menjelang diselenggarakannya Festival Kraton Nusantara di Cirebon, dibuatkan duplikatnya—bersamaan dengan pembuatan duplikat kereta-kereta kraton lainnya: Paksi Naga Liman dari Kraton Kanoman, dan pembuatan Pedati Gede Pekalangan yang merupakan rekonstruksi, karena kereta tertua ini telah musnah, pembuatannya berdasar pada naskah-naskah sejarah. Duplikat Pedati Gede Pekalangan kini disimpan di Kraton Kacirebonan.
Pada acara kirab (pawai) Festival Kraton Nusantara akhir 26 September 2004 di Yogyakarta, duplikat kereta Singa Barong ini turut pawai dengan ditarik sepasang kerbau, bukan dengan oleh dua pasang seperti yang diceritakan dalam sejarahnya. Dalam acara pembukaan Pesta Topeng Nusantara di Cirebon 16 Oktober 2010, duplikat kereta Singa Barong ini pun dipamerkan, “diarak” dari Kraton Kasepuhan hingga halaman Balai Kota, bersamaan dengan duplikat kereta-kereta kraton lainnya, termasuk Paksi Naga Liman, Pedati Gede Pekalangan, dan Kereta Jempana, tapi semuanya hanya ditarik dan didorong oleh belasan pemuda, bukan dengan kerbau, sapi, ataupun kuda.
Di semua penampilan publik, kereta Singa Barong mendapat perhatian yang khusus, karena wujudnya yang sangat khusus pula. Ia, seperti juga Paksi-Naga-Liman Kanoman, seolah telah jadi ikon budaya Cirebon. Dalam ukiran kayu, lukisan kaca, dan motif batik, Singa Barong banyak muncul. Demikian juga pada acara pawai kampung, seperti arak-arakan untuk sidekah bumi, khitanan dan pernikahan, Singa Barong biasa dibuat, dengan cara dan fungsinya yang berbeda-beda.

FILOSOFI BATIK CIREBON MOTIF PAKSI NAGALIMAN

Filosofi Batik Cirebon Motif Paksi Naga Liman


   Ragam Batik khas Cirebon yang merupakan salah satu dari empat sentra industri batik di Jawa Barat yang masih ada sampai sekarang. Cirebon merupakan sentra batik tertua yang memberikan pengaruh terhadap ragam pola batik di sentra-sentra industri batik lain di Jawa Barat.Motif Batik Cirebon yang paling terkenal dan menjadi ikon Cirebon adalah motif Mega Mendung. Sejarah motif ini berkaitan dengan sejarah kedatangan bangsa Cina di Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati yang menikah dengan wanita Tionghoa bernama Ong Tie. Motif ini memiliki gradasi warna yang sangat bagus dengan proses pewarnaan yang dilakukan sebanyak lebih dari tiga kali. Selain Motif Mega Mendung ada Motif Batik Paksi Naga Liman.
   Motif Batik Paksi Naga Liman adalah salah satu motif batik berasal dari cirebon yang menggambarkan tentang sebuah kereta sakti yang dinamakan Paksi Naga Liman. Dalam sejarahnya paksi naga liman merupakan seekor hewan keramat yang terdiri dari 3 gabungan hewan yaitu Paksi (Burung Garuda), Naga (Ular) dan Liman (Gajah).
   Gaya teknik pembuatan batik Cirebon ini berbeda dengan teknik pembuatan batik Jawa. Pada proses penggambaran pola pada pembuatan batik Jawa, pembuat pola harus menggambar garis pola sebanyak dua buah (kembar) sehingga telah memberikan batasan tembok pada pola untuk tahapan selanjutnya. Selanjutnya, pembuat tembok tidak perlu membuat garis pola sendiri dan langsung terfokus pada proses untuk menutup bagian dasar kain yang tidak perlu diwarnai, dimana batasannya sudah dibuat oleh pembuat pola pada tahapan sebelumnya.
Motif Batik Cirebon terbagi menjadi dua, yaitu motif yang di gunakan pleh punggawa kerajaan atau abdi dalem dan motif yang di gunakan oleh keluarga raja. Pe4rbedaan nya terdapat dalam motif. Motif Batik untuk abdi dalem bergambar kuat dan besar, sedangkan untuk keluarga raja bergambar halus dan kecil.
Objek yang di jadikan dalam motif batik keraton Cirebon adalah tumbuhan binatang mitologi, bentuk-bentuk bangunan, taman arum, wadasan, bentuk sayap, perhiasan dan mega mendung. Tumbuh-tumbuhan yang menjadi objek adalah tumbuhan yang hidup di sekitar keraton. Setiap pemilihan tumbuhan ini dikaitkan dengan makna tertentu. Contohnya pokok hias kangkunganyang di gambarkan sejenis tumbuhan kangkung. Karakteristik kangkung yang tidak memiliki batang keras dan tumbuh di tempat yang kosong dikaitkan dengan ajaran-ajaran islam yang bermakna manusia tidak mempunyai kekuatan hanya Allah yang Maha Kuat. Selain kangkungan, terdapat pula pokok hias kluwenKluwendiambil dari bentuk kain kluwi(sukun). Kata kluwensendiri sangt mirip dengan kata keluwihen yang berarti berlebih-lebihan. Pokok hias ini dapat ditemukan dalam motif Simbar Kendo dan Simbar Manjangan.
Ragam bintang yang menjadi pokok hias motif batik keraton Cirebon seperti naga, singa, ayam jago, dan udang. Pokok hiasnya antar lain Paks Naga Liman, Naga Seba, Singa Barong, Singa Payung, Singa Wadas, Ayam Alas dan Supit Urang. Paksi Naga Liman dan Singa Barong diambil dari dua nama kereta kebesaran keraton Kanomandan keraton Kesepuhan. Singa Brong sendiri berbentuk binatang mitologi yang berkepala naga yangmempunyai belalai gajah, berbadan kuda yang bersayap, berkuku singa. Sedangkan Paksi Naga Liman berbentuk perpaduan antara burung, naga, dan gajah. Binatang-binatang mitologi ini dapat di temukan dalam motif batik Singa Payung. Contoh bentuk bangunan yang di jadikan ragam his adalah taman arum. Taman arum dapat di temukan dalam motif Taman Arum Sunyaragi. Taman Arum adalah symbol keharuman dan keindahan taman sultan yang bias digunakan untuk berekreasi dan mendekati Allah SWT. Bentuk taman arum sendiri adalah taman yang dikelilingi air yang di penuhi gua-gua buatan. Bentuk sayap yang di miliki batik Keraton Cirebon mempunyai karakteristik tersendiri. Berbeda dari bentuk sayap di batik keraton Yogya dan Solo yang mempunyai karakteristik pada ujung-ujung sayapnya yang teratur dan rapi, batik keraton Cirebon mempunyai sayap-sayap yang lebih terbuka dan terkesan sedang terbang. Seakan menyirat ekspresi orang Cirebon yang terbuka. Motif dan pokok hias sayap ini dapat dilihat pada motif Sawat Penganten.
Motif batik keraton Cirebon yang saat ini sangat populer adalah motif Mega Mendung. Motif ini berupa gambar awan yang bertumpuk-tumpuk. Motif ini terpengaruh dari kebudayaan Tionghoa. Lapisan awan tersebut biasanya terdiri dari lima sampai tujuh warna yang monokromatis. Jumlah lapisan itu mempunyai makna rukun islam yang ada lima dan tujuh lapis langit yang dilalui oleh NabĂ­ Muhammad SAW ketika perjalanan Isra Mi'raj. Melemahnya keraton akibat penjajahan membuat semakin renggangnya aturan-aturan pemakaian motif batik keraton. Melemahnya pengaruh keraton yang diiringi perkembangan industri dan pasar batik membuat motif-motif batik keraton dapat dipakai oleh umum. Hingga saat ini motif-motif batik keraton dapat dijumpai di toko-toko dan dipakai di tempat umum, Semakin umumnya motif-motif ini dipakai membuat makna dan nilai-nilai yang dikandungnya tergerus karena hanya dilihat dari aspek keindahan. Padahal, motif-motif di atas sarat dengan makna. Jangan sampai batik hanya dilihat sebagai komoditas, industri, dan ekonomi belaka, Batik mempunyai nilai-nilai budaya yang sarat akan arti kehidupan yang telah berkembang semenjak nenek moyang bangsa Indonesia.
Kain batik yang diidentikkan sebagai kain Nusantara kini berkembang menjadi menjadi industri modern. Masuknya batik ke dalam industri modern menuntut para produsen batik untuk dapat mengikuti perkembangan zaman yang sesuai dengan perkembangan mode dan tuntutan pasar. Perkembangan batik dari tahun ke tahun semakin menunjukkan dinamika yang beragam. Jika dulunya penggunaan batik sangat dibatasi dan hanya boleh digunakan oleh keluarga kerajaan dan kraton tetapi saat ini batik dengan maraknya digunakan oleh khalayak umum dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya perubahan-perubahan dari masa dulu hingga kini, ditinjau dari batik itu sendiri sebenarnya merupakan hal yang positif, karena merupakan salah satu upaya untuk menjaga eksistensi batik di zaman modern ini agar tetap lestari. Namun, di sisi lain, bagaimana dengan nilai filosofi yang terdapat pada setiap motifnya? Seberapa jauhkah kita sebagai warga Indonesia, sebagai konsumer batik mengetahui dan mendalami nilai filosofi yang terkandung di dalamnya? Apakah kita sebagai warga asli Indonesia menggunakan batik hanya untuk pelestarian dan memperkenalkan batik ke mancanegara tanpa memperkenalkan dari segi nilai filosofinya?.
Nah dari berbagai macam batik yang terdapat di setiap provinsi di Indonesia, mari kita bahas nilai filosofi yang ada pada batik khas dari Kota Cirebon. Dimulai dari kota sendiri, Cirebon.
Tata susun batik Paksi Naga Liman ini tergolong ke dalam bentuk mandala dalam tipe “Centering”. Secara konsep mandala empat motif yang terdapat pada batik Paksi Naga Liman tersebut saling memberi energi pada motif di tengah yaitu dilambangkan dengan motif pohon hayat. Pohon hayat melambangkan sifat darma, memberi perlindungan dan kekuatan hidup sesuai dengan energi ke empat motif tersebut. Filosofi bentuk binatang singa berkepala naga dan singa berkepala gajah, memberi energi yang lebih dari sekedar kekuatan singa, naga, dan gajah. Ketiga binatang yang mempunyai kekuatan maha besar apabila dipadukan maka akan mempunya kekuatan yang lebih besar lagi. Maka dapat dikonotasikan bahwa simbolisme singa berkepala naga dan singa berkepala gajah akan mampu memberikan energi tentang perlindungan dalam kekuatan hidup. Dengan kata lain, batik dengan corak ini merupakan simbol dari kekuatan kerajaan Cirebon untuk mencapai sebuah kemakmuran.

MENENGOK SEJARAH KERETA DI MUSEUM KERETA KERATON YOGYAKARTA

Menengok Sejarah Kereta Kuda di Museum Kereta Keraton Yogyakarta



   Bila Anda ingin menambah wawasan mengenai sejarah kereta kuda Keraton Yogyakarta, Museum Kereta Keraton di Yogyakarta bisa menjadi pilihan untuk Anda kunjungi. Museum ini menyimpan berbagai kereta kuda Keraton Kesultanan Yogyakarta yang digunakan baik untuk kepentingan keraton maupun untuk kepentingan pribadi.
Museum yang telah berdiri sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII ini memiliki berbagai kereta kuda yang umurnya mencapai ratusan tahun seperti kereta Kyai Jongwiyat dan kereta Kyai Puspoko Manik. Selain itu, ada pula kereta Mondro Juwolo, kereta kuda yang pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro. Kereta-kereta koleksi museum ini beberapa masih ada yang digunakan untuk kepentingan upacara-upacara kebesaran keraton.
Berkunjung ke Museum Kereta Keraton, Anda akan disajikan berbagai bentuk kereta kuda kesultanan. Ada tiga jenis kereta keraton yang disimpan di sini. Pertama, kereta atap terbuka dan beroda dua. Kedua, kereta atap terbuka dan beroda empat. Yang terakhir, kereta atap tertutup dan beroda empat.
Setiap kereta yang berada di Museum Kereta Keraton menjadi benda pusaka milik keraton. Artinya, kereta-kereta ini akan mendapat penghormatan berupa sebuah ritual, yang biasa dikenal dengan nama jamasan. Jamasan yang dilakukan meliputi kegiatan memandikan, memberi ‘makan’ dengan sesajian, dan mendoakan.
Ritual jamasan selalu diadakan pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pertama tiap Bulan Suro (bulan dalam kalender Jawa). Jamasan diadakan di dua tempat, yaitu di Gedong Pusaka dan di Museum Kereta Keraton Yogyakarta.
Menapak Jejak Purbakala di Situs Wisata Ratu BokoDusun Dawung Desa Bokoharjo, Sleman, Yogyakarta, memiliki situs purbakala yang dirawat dengan apik bernama Ratu Boko. Situs purbakala ini diyakini sebagai situs pemukiman masa klasik terbesar di Pulau Jawa khususnya Jawa bagian tengah. Oleh karena itu, di dalam kompleks Ratu Boko tersimpan berbagai benda dan bangunan purbakala.
Lokasi Ratu Boko sangat mudah dicapai. Dari perempatan Tugu Jogja masuk ke arah Jalan Jenderal Sudirman sampai memasuki Jalan Laksda Adisucipto. Terletak di ketinggian 196 meter di atas permukaan laut, membuat udara di sekitar situs ini begitu sejuk dan nyaman. Memasuki Komplek Ratu Boko pengunjung dimanjakan oleh pemandangan yang luar biasa indah. Mulai dari persawahan, rel kereta api yang terhampar, hingga Candi Prambanan dan Gunung Merapi yang tampak dari kejauhan.
Di dalam Komplek Ratu Boko terdapat benda dan bangunan purbakala seperti keramik, porselin, prasasti, Gapura Keraton Ratu Boko, Candi Pembakaran, Kolam Suci, Pendopo, dan berbagai benda purbakala lain.
Menurut buku "Menapak Jejak Kepurbakalaan Ratu Boko" yang ditulis oleh Mangar Suri Ayuati dan Gatut Eko Nurcahyo, Komplek Purbakala Ratu Boko ini pertama kali ditemukan oleh Van Boekholtz seorang berkebangsaan Belanda pada tahun 1790.
Satu yang menarik dari komplek Ratu Boko adalah adanya keyakinan bahwa komplek tersebut merupakan bekas komplek keraton. Hal tersebut direpresentasikan dengan sistem penamaan yang mengacu pada penamaan bangunan yang umumnya terdapat di dalam keraton, seperti paseba, kaputren, dan pendapa.
Selain diyakini sebagai tempat bekas keraton, ditemukannya porselin dan keramik Cina di lokasi ini juga memunculkan anggapan bahwa tempat tersebut dahulu merupakan tempat hunian bagi kalangan atas. Hal itu diyakini karena hanya orang dari kalangan atas-lah yang bisa membeli porselin dan keramik buatan Cina.
Selain menjadi wisata alam karena pemandangannya yang indah, mengunjungi situs purbakala Ratu Boko juga akan menambah pengetahuan sejarah tentang kebudayaan Indonesia yang kaya.
Salah satu pusaka keraton yang dapat dilihat secara terbuka oleh masyarakat umum adalah kereta. Saat ini Keraton Yogyakarta mengoleksi 23 kereta. Kereta-kereta tersebut hanya digunakan untuk upacara-upacara penting dan disimpan di Museum Kereta Keraton.
Dari sekian kereta yang ada, yang tertua adalah kereta pusaka bergelar Kanjeng Nyai Jimat. Kereta Kanjeng Nyai Jimat dibuat di Belanda antara tahun 1740-1750. Berdasar catatan yang ada, Kereta Kanjeng Nyai Jimat merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal VOC Jacob Mussel (1750-1761) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I, setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Bentuk dan gaya Kereta Kanjeng Nyai Jimat sama dengan kereta buatan Eropa. Di Eropa, kereta dengan bentuk dan bergaya Renaissance macam itu merupakan kereta yang digunakan oleh bangsawan kelas tertinggi atau para raja. Kereta dengan model dan bentuk yang sama, serta dengan usia yang kurang lebih sama terdapat pula di Keraton Kasunanan Surakarta, dengan nama Kereta Kiai Gurdo. Baik Kereta Kanjeng Nyai Jimat maupun Kereta Gurdo masing-masing digunakan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti.
Kereta Kanjeng Nyai Jimat digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) hingga Sri Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814). Setelah itu kereta ini “dipensiunkan” sebagai kereta kencana Sultan, namun tetap disimpan di keraton sebagai kereta pusaka Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kereta pusaka, setiap tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sura, Kereta Kanjeng Nyai Jimat dikeluarkan dari Museum Keraton untuk dibersihkan. Ritual ini disebut dengan Jamasan. Dalam setiap Jamasan, masyarakat umum yang menghadiri upacara tersebut akan berupaya untuk mendapatkan air yang digunakan untuk membersihkan Kereta Kanjeng Nyai Jimat. Masyarakat umum percaya bahwa air perasan jeruk nipis dan air kembang setaman yang telah digunakan dalam Jamasan Kereta Kanjeng Nyai Jimat membawa berkah serta dapat menyembuhkan penyakit.
Selain Kereta Kanjeng Nyai Jimat, terdapat kereta kencana lain yang bernama Kereta Kiai Garuda Yeksa. Kereta Kiai Garuda Yeksa bertarikh 1861, dibuat di Amsterdam, Belanda. Kereta ini dipergunakan sejak masa Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877), saat ini hanya digunakan dalam prosesi penobatan sultan. Kereta Kiai Garuda Yeksa dibuat oleh pabrik dan mempunyai model yang sama dengan kereta kencana yang digunakan Kerajaan Belanda, yang bergelar Gouden Koets (Kereta Emas). Gouden Koets mulai digunakan pada tahun 1899, dan sampai sekarang masih digunakan Ratu Belanda setiap tahun untuk upacara kebesaran.
Kereta Kiai Garuda Yeksa adalah kereta yang ditarik delapan ekor kuda, hadiah Ratu Wilhelmina kepada Sultan Hamengkubuwono VI. Di pintu kereta masih terlihat logo kerajaan Belanda bersanding dengan logo Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Ornamen hiasan berbentuk mahkota di bagian atas kereta Kiai Garuda Yeksa disepuh dengan emas asli, yang menunjukkan wibawa dari seorang pemimpin kerajaan yang makmur dan sejahtera. Seluruh bagian kereta beserta ornamen-ornamennya masih terjaga keasliannya.
Pada masa lalu, kereta-kereta ini digunakan untuk keperluan sehari-hari Sultan atau keluarga inti Sultan. Hanya ada satu kereta yang tidak khusus digunakan untuk Sultan atau keluarga inti Sultan, yaitu Kereta Premili. Kereta Premili mulai digunakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dipergunakan khusus untuk kereta pengangkut penari-penari Kasultanan Yogyakarta.
Lebih dari separuh koleksi kereta Keraton Yogyakarta merupakan produksi dari Belanda. Lima belas di antaranya merupakan kereta yang diperoleh oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sri Sultan Hamengku Buwono VII memperoleh sepuluh kereta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memperoleh lima kereta. Sisanya diperoleh dari Sri Sultan Hamengku Buwono I (Kereta Kanjeng Nyai Jimat), Sri Sultan Hamengku Buwono III (Kereta Mandra Juwala), Sri Sultan Hamengku Buwono IV (Kereta Kiai Jaladara dan Kereta Manik Retna), dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Kereta Wimanaputra, Kereta Notopuro, Kereta Harsunaba, Kereta Kiai Garuda Yeksa).
Dari sepuluh kereta yang diperoleh Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921), delapan diantaranya adalah buatan Spyker, Amsterdam, dengan tahun perakitan 1901. Pabrik yang sama pada tahun 1898 membuat Kereta Emas yang digunakan oleh Ratu Wilhelmina.
Meskipun kebanyakan kereta diproduksi di luar negeri, namun bahan baku untuk membangun kereta tersebut adalah bahan baku berkualitas yang diambil dari Hindia Belanda. Kayu, karet, timah, dan logam yang digunakan untuk membangun kereta-kereta tersebut adalah bahan-bahan yang didatangkan dari hutan dan perkebunan yang terletak di Jawa dan Sumatera. Salah satu pendiri pabrik Spyker, Hendri Jan Spijker, sendiri pernah tinggal untuk beberapa waktu di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Selain produksi Belanda, sejumlah kereta adalah produksi dari Inggris dan Jerman. Ada juga yang diproduksi oleh bengkel di Yogyakarta dan Semarang. Satu kereta dari Inggris adalah Kereta Mandra Juwala (buatan tahun 1814, ditarik dua ekor kuda), digunakan oleh Pangeran Diponegoro ketika menjadi wali Sri Sultan Hamengku Buwono IV ketika berunding dengan Inggris. Satu kereta dari Jerman adalah Kereta Kuthaka Raharja yang dibuat di Berlin tahun 1927, kereta yang ditarik dua ekor kuda ini digunakan oleh Raden Mas Dorodjatun sebelum diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Empat kereta buatan dalam negeri semuanya dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Masing-masing kereta tersebut adalah, Kereta Kapulitin (dirakit di Yogyakarta, 1925, kereta pesiar Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, kereta ditarik dua ekor kuda), Kereta Premili (dirakit di Semarang, 1921, kereta untuk angkutan para penari kerajaan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Jatayu (dibuat di Yogyakarta, 1931, kereta untuk kendaraan putri-putri Sultan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Rata Pralaya (dibuat di Yogyakarta, 1938, kereta untuk prosesi pemakaman, ditarik delapan ekor kuda).
Kecuali Kereta Kanjeng Nyai Jimat, Kiai Garuda Yeksa, Rata Pralaya, dan Premili, kereta-kereta koleksi Kasultanan Yogyakarta adalah kereta yang difungsikan sebagai moda transportasi harian sampai dengan tahun 1930-an. Kereta-kereta tersebut didekasikan untuk keperluan sehari-hari Sultan dan putra-putrinya. Setelah transportasi modern seperti mobil dan sepeda motor menjadi lebih populer dari kereta kuda, Kasultanan Yogyakarta tidak menambah lagi koleksi kereta kerajaan.
Salah satu contoh penggunaan kereta kuda Kasultanan Yogyakarta sebagai bagian dari prosesi kebudayaan, adalah prosesi kirab pernikahan putri keempat Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 pada tahun 2013. Proses tersebut menggunakan 12 kereta kuda koleksi kerajaan untuk prosesi kirab pernikahan. Untuk menarik 12 kereta koleksi kerajaan pada prosesi kirab pernikahan putri Sultan tersebut, Kasultanan Yogyakarta mendatangkan tiga kavaleri pasukan berkuda milik Polri yang bermarkas di Bandung. Kereta-kereta tersebut digunakan oleh mempelai, keluarga Sri Sultan, keluarga besan, dan Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 beserta permaisuri. Kereta yang digunakan dalam prosesi seperti ini adalah kereta-kereta yang dulu berfungsi sebagai kereta pesiar untuk Sultan dan putra-putrinya.
Seluruh kereta-kereta tersebut setiap hari dirawat dan dibersihkan oleh para Abdi Dalem Kanca Rata. Abdi Dalem ini pula yang akan mempersiapkan kereta-kereta tersebut apabila hendak digunakan. Perawatan sehari-hari yang dilakukan adalah menutup kereta dengan kain putih bersih setiap sore, dan membukanya pada pagi hari. Setiap pagi kereta-kereta tersebut dibersihkan dari debu dan kotoran yang menempel. Pembersihan seperti Jamasan hanya dilaksanakan setiap tahun sekali. Renovasi seperti penggantian bagian dari kereta atau pengecatan ulang kereta dilakukan di bengkel-bengkel yang sudah dipercaya oleh Keraton Yogyakarta. Bengkel yang biasanya dipercaya oleh Keraton Yogyakarta tersebut terdapat di Sleman dan di Bantul.