Halaman

Kamis, 19 Desember 2019

MENENGOK SEJARAH KERETA DI MUSEUM KERETA KERATON YOGYAKARTA

Menengok Sejarah Kereta Kuda di Museum Kereta Keraton Yogyakarta



   Bila Anda ingin menambah wawasan mengenai sejarah kereta kuda Keraton Yogyakarta, Museum Kereta Keraton di Yogyakarta bisa menjadi pilihan untuk Anda kunjungi. Museum ini menyimpan berbagai kereta kuda Keraton Kesultanan Yogyakarta yang digunakan baik untuk kepentingan keraton maupun untuk kepentingan pribadi.
Museum yang telah berdiri sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII ini memiliki berbagai kereta kuda yang umurnya mencapai ratusan tahun seperti kereta Kyai Jongwiyat dan kereta Kyai Puspoko Manik. Selain itu, ada pula kereta Mondro Juwolo, kereta kuda yang pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro. Kereta-kereta koleksi museum ini beberapa masih ada yang digunakan untuk kepentingan upacara-upacara kebesaran keraton.
Berkunjung ke Museum Kereta Keraton, Anda akan disajikan berbagai bentuk kereta kuda kesultanan. Ada tiga jenis kereta keraton yang disimpan di sini. Pertama, kereta atap terbuka dan beroda dua. Kedua, kereta atap terbuka dan beroda empat. Yang terakhir, kereta atap tertutup dan beroda empat.
Setiap kereta yang berada di Museum Kereta Keraton menjadi benda pusaka milik keraton. Artinya, kereta-kereta ini akan mendapat penghormatan berupa sebuah ritual, yang biasa dikenal dengan nama jamasan. Jamasan yang dilakukan meliputi kegiatan memandikan, memberi ‘makan’ dengan sesajian, dan mendoakan.
Ritual jamasan selalu diadakan pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pertama tiap Bulan Suro (bulan dalam kalender Jawa). Jamasan diadakan di dua tempat, yaitu di Gedong Pusaka dan di Museum Kereta Keraton Yogyakarta.
Menapak Jejak Purbakala di Situs Wisata Ratu BokoDusun Dawung Desa Bokoharjo, Sleman, Yogyakarta, memiliki situs purbakala yang dirawat dengan apik bernama Ratu Boko. Situs purbakala ini diyakini sebagai situs pemukiman masa klasik terbesar di Pulau Jawa khususnya Jawa bagian tengah. Oleh karena itu, di dalam kompleks Ratu Boko tersimpan berbagai benda dan bangunan purbakala.
Lokasi Ratu Boko sangat mudah dicapai. Dari perempatan Tugu Jogja masuk ke arah Jalan Jenderal Sudirman sampai memasuki Jalan Laksda Adisucipto. Terletak di ketinggian 196 meter di atas permukaan laut, membuat udara di sekitar situs ini begitu sejuk dan nyaman. Memasuki Komplek Ratu Boko pengunjung dimanjakan oleh pemandangan yang luar biasa indah. Mulai dari persawahan, rel kereta api yang terhampar, hingga Candi Prambanan dan Gunung Merapi yang tampak dari kejauhan.
Di dalam Komplek Ratu Boko terdapat benda dan bangunan purbakala seperti keramik, porselin, prasasti, Gapura Keraton Ratu Boko, Candi Pembakaran, Kolam Suci, Pendopo, dan berbagai benda purbakala lain.
Menurut buku "Menapak Jejak Kepurbakalaan Ratu Boko" yang ditulis oleh Mangar Suri Ayuati dan Gatut Eko Nurcahyo, Komplek Purbakala Ratu Boko ini pertama kali ditemukan oleh Van Boekholtz seorang berkebangsaan Belanda pada tahun 1790.
Satu yang menarik dari komplek Ratu Boko adalah adanya keyakinan bahwa komplek tersebut merupakan bekas komplek keraton. Hal tersebut direpresentasikan dengan sistem penamaan yang mengacu pada penamaan bangunan yang umumnya terdapat di dalam keraton, seperti paseba, kaputren, dan pendapa.
Selain diyakini sebagai tempat bekas keraton, ditemukannya porselin dan keramik Cina di lokasi ini juga memunculkan anggapan bahwa tempat tersebut dahulu merupakan tempat hunian bagi kalangan atas. Hal itu diyakini karena hanya orang dari kalangan atas-lah yang bisa membeli porselin dan keramik buatan Cina.
Selain menjadi wisata alam karena pemandangannya yang indah, mengunjungi situs purbakala Ratu Boko juga akan menambah pengetahuan sejarah tentang kebudayaan Indonesia yang kaya.
Salah satu pusaka keraton yang dapat dilihat secara terbuka oleh masyarakat umum adalah kereta. Saat ini Keraton Yogyakarta mengoleksi 23 kereta. Kereta-kereta tersebut hanya digunakan untuk upacara-upacara penting dan disimpan di Museum Kereta Keraton.
Dari sekian kereta yang ada, yang tertua adalah kereta pusaka bergelar Kanjeng Nyai Jimat. Kereta Kanjeng Nyai Jimat dibuat di Belanda antara tahun 1740-1750. Berdasar catatan yang ada, Kereta Kanjeng Nyai Jimat merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal VOC Jacob Mussel (1750-1761) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I, setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Bentuk dan gaya Kereta Kanjeng Nyai Jimat sama dengan kereta buatan Eropa. Di Eropa, kereta dengan bentuk dan bergaya Renaissance macam itu merupakan kereta yang digunakan oleh bangsawan kelas tertinggi atau para raja. Kereta dengan model dan bentuk yang sama, serta dengan usia yang kurang lebih sama terdapat pula di Keraton Kasunanan Surakarta, dengan nama Kereta Kiai Gurdo. Baik Kereta Kanjeng Nyai Jimat maupun Kereta Gurdo masing-masing digunakan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti.
Kereta Kanjeng Nyai Jimat digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) hingga Sri Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814). Setelah itu kereta ini “dipensiunkan” sebagai kereta kencana Sultan, namun tetap disimpan di keraton sebagai kereta pusaka Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kereta pusaka, setiap tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sura, Kereta Kanjeng Nyai Jimat dikeluarkan dari Museum Keraton untuk dibersihkan. Ritual ini disebut dengan Jamasan. Dalam setiap Jamasan, masyarakat umum yang menghadiri upacara tersebut akan berupaya untuk mendapatkan air yang digunakan untuk membersihkan Kereta Kanjeng Nyai Jimat. Masyarakat umum percaya bahwa air perasan jeruk nipis dan air kembang setaman yang telah digunakan dalam Jamasan Kereta Kanjeng Nyai Jimat membawa berkah serta dapat menyembuhkan penyakit.
Selain Kereta Kanjeng Nyai Jimat, terdapat kereta kencana lain yang bernama Kereta Kiai Garuda Yeksa. Kereta Kiai Garuda Yeksa bertarikh 1861, dibuat di Amsterdam, Belanda. Kereta ini dipergunakan sejak masa Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877), saat ini hanya digunakan dalam prosesi penobatan sultan. Kereta Kiai Garuda Yeksa dibuat oleh pabrik dan mempunyai model yang sama dengan kereta kencana yang digunakan Kerajaan Belanda, yang bergelar Gouden Koets (Kereta Emas). Gouden Koets mulai digunakan pada tahun 1899, dan sampai sekarang masih digunakan Ratu Belanda setiap tahun untuk upacara kebesaran.
Kereta Kiai Garuda Yeksa adalah kereta yang ditarik delapan ekor kuda, hadiah Ratu Wilhelmina kepada Sultan Hamengkubuwono VI. Di pintu kereta masih terlihat logo kerajaan Belanda bersanding dengan logo Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Ornamen hiasan berbentuk mahkota di bagian atas kereta Kiai Garuda Yeksa disepuh dengan emas asli, yang menunjukkan wibawa dari seorang pemimpin kerajaan yang makmur dan sejahtera. Seluruh bagian kereta beserta ornamen-ornamennya masih terjaga keasliannya.
Pada masa lalu, kereta-kereta ini digunakan untuk keperluan sehari-hari Sultan atau keluarga inti Sultan. Hanya ada satu kereta yang tidak khusus digunakan untuk Sultan atau keluarga inti Sultan, yaitu Kereta Premili. Kereta Premili mulai digunakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dipergunakan khusus untuk kereta pengangkut penari-penari Kasultanan Yogyakarta.
Lebih dari separuh koleksi kereta Keraton Yogyakarta merupakan produksi dari Belanda. Lima belas di antaranya merupakan kereta yang diperoleh oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sri Sultan Hamengku Buwono VII memperoleh sepuluh kereta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memperoleh lima kereta. Sisanya diperoleh dari Sri Sultan Hamengku Buwono I (Kereta Kanjeng Nyai Jimat), Sri Sultan Hamengku Buwono III (Kereta Mandra Juwala), Sri Sultan Hamengku Buwono IV (Kereta Kiai Jaladara dan Kereta Manik Retna), dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Kereta Wimanaputra, Kereta Notopuro, Kereta Harsunaba, Kereta Kiai Garuda Yeksa).
Dari sepuluh kereta yang diperoleh Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921), delapan diantaranya adalah buatan Spyker, Amsterdam, dengan tahun perakitan 1901. Pabrik yang sama pada tahun 1898 membuat Kereta Emas yang digunakan oleh Ratu Wilhelmina.
Meskipun kebanyakan kereta diproduksi di luar negeri, namun bahan baku untuk membangun kereta tersebut adalah bahan baku berkualitas yang diambil dari Hindia Belanda. Kayu, karet, timah, dan logam yang digunakan untuk membangun kereta-kereta tersebut adalah bahan-bahan yang didatangkan dari hutan dan perkebunan yang terletak di Jawa dan Sumatera. Salah satu pendiri pabrik Spyker, Hendri Jan Spijker, sendiri pernah tinggal untuk beberapa waktu di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Selain produksi Belanda, sejumlah kereta adalah produksi dari Inggris dan Jerman. Ada juga yang diproduksi oleh bengkel di Yogyakarta dan Semarang. Satu kereta dari Inggris adalah Kereta Mandra Juwala (buatan tahun 1814, ditarik dua ekor kuda), digunakan oleh Pangeran Diponegoro ketika menjadi wali Sri Sultan Hamengku Buwono IV ketika berunding dengan Inggris. Satu kereta dari Jerman adalah Kereta Kuthaka Raharja yang dibuat di Berlin tahun 1927, kereta yang ditarik dua ekor kuda ini digunakan oleh Raden Mas Dorodjatun sebelum diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Empat kereta buatan dalam negeri semuanya dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Masing-masing kereta tersebut adalah, Kereta Kapulitin (dirakit di Yogyakarta, 1925, kereta pesiar Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, kereta ditarik dua ekor kuda), Kereta Premili (dirakit di Semarang, 1921, kereta untuk angkutan para penari kerajaan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Jatayu (dibuat di Yogyakarta, 1931, kereta untuk kendaraan putri-putri Sultan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Rata Pralaya (dibuat di Yogyakarta, 1938, kereta untuk prosesi pemakaman, ditarik delapan ekor kuda).
Kecuali Kereta Kanjeng Nyai Jimat, Kiai Garuda Yeksa, Rata Pralaya, dan Premili, kereta-kereta koleksi Kasultanan Yogyakarta adalah kereta yang difungsikan sebagai moda transportasi harian sampai dengan tahun 1930-an. Kereta-kereta tersebut didekasikan untuk keperluan sehari-hari Sultan dan putra-putrinya. Setelah transportasi modern seperti mobil dan sepeda motor menjadi lebih populer dari kereta kuda, Kasultanan Yogyakarta tidak menambah lagi koleksi kereta kerajaan.
Salah satu contoh penggunaan kereta kuda Kasultanan Yogyakarta sebagai bagian dari prosesi kebudayaan, adalah prosesi kirab pernikahan putri keempat Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 pada tahun 2013. Proses tersebut menggunakan 12 kereta kuda koleksi kerajaan untuk prosesi kirab pernikahan. Untuk menarik 12 kereta koleksi kerajaan pada prosesi kirab pernikahan putri Sultan tersebut, Kasultanan Yogyakarta mendatangkan tiga kavaleri pasukan berkuda milik Polri yang bermarkas di Bandung. Kereta-kereta tersebut digunakan oleh mempelai, keluarga Sri Sultan, keluarga besan, dan Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 beserta permaisuri. Kereta yang digunakan dalam prosesi seperti ini adalah kereta-kereta yang dulu berfungsi sebagai kereta pesiar untuk Sultan dan putra-putrinya.
Seluruh kereta-kereta tersebut setiap hari dirawat dan dibersihkan oleh para Abdi Dalem Kanca Rata. Abdi Dalem ini pula yang akan mempersiapkan kereta-kereta tersebut apabila hendak digunakan. Perawatan sehari-hari yang dilakukan adalah menutup kereta dengan kain putih bersih setiap sore, dan membukanya pada pagi hari. Setiap pagi kereta-kereta tersebut dibersihkan dari debu dan kotoran yang menempel. Pembersihan seperti Jamasan hanya dilaksanakan setiap tahun sekali. Renovasi seperti penggantian bagian dari kereta atau pengecatan ulang kereta dilakukan di bengkel-bengkel yang sudah dipercaya oleh Keraton Yogyakarta. Bengkel yang biasanya dipercaya oleh Keraton Yogyakarta tersebut terdapat di Sleman dan di Bantul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar