Terlepas dari
anggapan bahwa naga merupakan simbol kebudayaan Cina, naga yang
direpresentasikan dalam perupaan Paksi Naga Liman ini cenderung mendapat
pengaruh dari gaya seni Hindu.
Hal ini ditandai
dengan adanya penggunaan mahkota di kepalanya dan sumping di sisi telinganya. Perbandingan
perupaan naga Jawa dengan naga Tiongkok yang menjadi kecenderungan adanya dasar
gagasan dalam merepresentasikan simbol naga pada Paksi Naga Liman.
Naga
dianggap perwakilan lambang dari dunia bawah. Dalam pandangan masyarakat
Cirebon, naga kerap diidentikkan dengan sifat yang rakus. Oleh karena itu,
manusia seharusnya menghindari sifat-sifat dan hawa nafsu seperti itu. Bila hal
ini dikaitkan dengan sosok raja, simbol naga tersebut memiliki makna bahwa
masyarakat berharap akan kehadiran seorang raja yang mampu menghindarkan diri
dari sifat-sifat rakus, tamak, dan sebagainya.
Selain itu, seorang raja juga
hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan keluhan rakyatnya. Dengan kata
lain, apa yang diharapkan oleh masyarakat ialah seorang raja sebagai pelindung
dan pengayom. Dalam konsep kepemimpinan Tri- Tangtu, hal ini termasuk dalam
kategori Rama sekaligus Raja/Ponggawa. Adanya atribut mahkota naga raja
tersebut seolah hendak menunjukkan eksistensi diri raja sebagai pemegang
kekuasaan penuh.
Motif liman atau gajah pada
Paksi Naga Liman nampak pada bagian hidung/ belalai dan gading. Liman dianggap
sebagai salah satu binatang darat yang mewakili adanya sistem kosmos alam
tengah/ dunia tengah. Pengaruh motif hias gajah pada Paksi Naga Liman ini
sendiri nyatanya dipengaruhi oleh seni hias Hindu Budha yang dibawa oleh India.
Simbol liman dianggap
sebagai sosok ganesha. Sifat ganesha digambarkan dalam produk-produk artefak
yang ada di lingkungan keraton, memiliki konten lebih mengacu pada dewa penolak
bala, dewa keselamatan, sekaligus penghalau rintangan. Sosoknya ini sering
dikaitkan dengan tokoh yang bersifat wira, gagah berani, mampu mematahkan
barisan sehingga layak disebut sebagai pemimpin para gana atau raksasa.
Dalam konsep kepemimpinan, motif liman ini
cenderung menekankan pada kategori sosok pemimpin raja/ ponggawa. Hal ini juga
berkaitan dengan karakteristik Pangeran Cakrabuana yang memang memiliki dasar
sebagai seorang panglima militer.
Perupaan trisula yang
terdapat pada artefak kereta kencana Paksi Naga Liman maupun Singabarong pada
dasarnya memiliki pengaruh besar dari kepercayaan umat Hindu. Hal ini karena
trisula dianggap sebagai senjata utama Dewa Siwa. Senjata jenis ini mempunyai
tiga mata tombak yang berfungsi sebagai senjata penyerangan maupun untuk
pertahanan. Senjata ini dianggap sebagai lambang tiga sifat Siwa, yakni sebagai
pencipta, pemelihara, dan pelebur dari alam semesta. Hal ini juga tak lepas
dari adanya peningkatan kualitas spiritual dalam diri yang tecermin melalui
pesan bahwa seorang manusia khususnya raja/sultan harus memiliki cipta, rasa,
dan karsa yang tajam.
Motif trisula mendukung
adanya sosok pemimpin yang tergolong dalam kategori raja/ ponggawa yang juga
memiliki sifat Resi. Dalam pewayangan,
biasanya, hiasan mahkota seperti ini sering dipakai dan dinamakan dengan garuda
mungkur.
Di sini terlihat adanya
pengaruh budaya Hindu yang cukup besar/kuat melalui perupaan mahkota wayang
yang telah digunakan sejak masa-masa sebelumnya. Adanya atribut mahkota garuda
mungkur ini menjadi simbol kebesaran, kekuasaan, dan keagungan. Selain garuda
mungkur, pada bagian mahkota ini juga dapat terlihat adanya motif sumping dan
zamang yang mengelilinginya. Sumping merupakan hiasan pada daun telinga yang
difungsikan sebagai penjepit mahkota atau zamang. Zamang pada Paksi Naga Liman
ini sendiri memiliki tingkatan yang menunjukkan status raja sekaligus sosok
satria yang berwajah Luruh atau Gugur. Gambar dibawah ini adalah Ganesha Gagasan Motif Liman.
Dengan demikian,
mahkota ini mengarah pada adanya sosok kategori pemimpin raja/ponggawa.
Bentuk sayap dan
badan pada Paksi Naga Liman tampaknya ada kecenderungan yang lebih menekankan
pada penggambaran buraq bersayap, bentuk binatang mitologi Persia (Islam).
Bentuk buraq dan
paksi yang menampilkan rupa seperti seekor kuda sembrani bersayap ini dianggap
menjadi simbol adanya kekuatan, kesucian, keabadian, dan perlindungan. Bila
dikaitkan dengan konsep Tri-Tangtu, menyiratkan adanya sosok pemimpin yang
loyal, mampu melindungi dan mengayomi, serta mendengarkan secara langsung
keluhan masyarakatnya (Rama).
Motif kala yang
menghiasi seni hias Paksi Naga Liman ini merupakan hasil campur tangan dari
seni pada zaman kerajaan Hindu- Budha. Kala atau yang disebut dengan Kirttimuka
ini digambarkan sebagai muka seorang raksasa dengan bentuk mata yang
melotot, mulut menyeringai, gigi bertaring, dan dengan lidah yang menjulur
keluar. Gambar itu dipandang memiliki kekuatan magis yang dapat memberi
kehidupan serta mampu menolak hal-hal yang bersifat jahat.
Dikaitkan dengan
konsep Tri- Tangtu, masyarakat berharap bahwa rajanya mampu menolak segala hal
yang buruk. Hal ini berupa ancaman-ancaman tertentu yang dapat menggangu kenyamanan
maupun ketenangan hidup rakyatnya. Dengan kata lain, seorang raja sudah
selayaknya melindungi penuh rakyatnya sehingga rakyat pun merasa aman dan dapat
mendedikasikan dirinya kepada raja (sifat raja/ponggawa).
Motif flora dalam ragam hias yang ada pada kereta kencana
Paksi Naga Liman ini salah satunya dapat dilihat pada bagian singgasana/
dudukan kereta raja. Bentuk patra ini memiliki kesan bentuk yang luwes, lemah
gemulai, dan bergerak lamban.
Di Keraton Cirebon, bunga teratai menjadi lambang
kebesaran dalam ketatanegaraan. Perwujudan ini sering dianggap sebagai bentuk
kesempurnaan. Pada dasarnya baik dalam agama Hindu maupun Budha, bunga teratai
merupakan bunga yang dianggap suci dan memiliki konotasi religius. Seorang
manusia dalam menjalani kehidupannya ini hendaknya selalu berusaha untuk
mencapai kesempurnaan spiritual dan tidak terpengaruh kesenangan duniawi.
Dengan kata lain, motif ini berkaitan erat dengan nilai-nilai seorang raja
sebagai Resi.
Motif naga dalam tradisi seni hias Jawa masih banyak yang
menggunakan ‘figur’ naga (pengaruh Hindu Budha). Namun, seiring dengan
perkembangan dan diterimanya kembali seni budaya Tiongkok, hal ini juga
berpengaruh pada adanya pergeseran penggambaran motif-motif naga di
daerah-daerah tertentu, salah satunya di wilayah Cirebon.
Ada peristiwa yang menjadi titik
tolak kebudayaan Tiongkok mulai masuk dan kemudian mengakibatkan perubahan yang
cukup signifikan terhadap keberadaan benda-benda produksi keraton.
Pengaruh besar dari seni hias Hindu
menjadi berbau Tiongkok ialah didasari oleh spirit zaman yang mulai mendapatkan
angin segar semenjak kedatangan Putri Ong Tien. Tien membawa berbagai macam
keramik dan kain sutra yang dihiasi beraneka ragam motif indah dan unik khas
negeri tersebut (hasil wawancara terhadap P.R.A Arief Natadiningrat, 14 Agustus
2017). Semenjak itu, motif naga di Cirebon memiliki dua versi. Pertama, bentuk
naga memakai mahkota akibat pengaruh seni hias Hindu.
Kedua versi naga liong (pengaruh Tiongkok). Sosok naga
tiongkok ini memiliki ciri yakni tidak bermahkota dan memiliki moncongnya
seperti buaya. Eksistensi simbol ini sering menjadi perlambang kekuasaan,
keagungan, kekuatan, kegagahan, dan keberuntungan.
Perlambangan ini kemudian membawa
pesan bahwa seorang penguasa itu harus peduli terhadap rakyatnya dan pada orang
yang ada di bawah. Berbeda dengan Paksi Naga Liman, perupaan naga singabarong
tidak terlalu ‘menunjukkan’ penguasa. Naga tersebut tidak banyak menggunakan
atribut-atribut kekuasaan. Selain itu, dari segi perupaan walaupun terlihat
lebih menyeramkan, naga ini seolah diperuntukkan langsung membaur dengan
masyarakat. Atribut
Wayang Sebagai Sumber Atribut Paksi Naga Liman.
Hal ini diperkuat dengan posisi
tunduk tengadah singabarong yang cenderung seperti ‘hewan peliharaan’ yang akan
baik pada majikan dan orang-orang yang menjadi bagian dari majikannya (rakyat).
Namun, bisa juga sewaktu-waktu naga ini menunjukkan sosok angkara murkanya pada
orang-orang yang membahayakan.
Oleh karena itu, naga pada
singabarong ini tampaknya menunjukkan sosok kategori Rama. Selanjutnya motif
hias liman dan trisula pada singabarong serupa dengan yang ada pada Paksi Naga
Liman. Perbedaan ada pada bagaimana posisi trisula itu akan dilempar. Sosok
Paksi Naga Liman tampak jelas menunjukkan adanya kesiapsiagaan untuk menyerang
‘musuh’ yang ada di depannya. Hal ini tidak terjadi pada singabarong. Posisi
trisula yang digenggam singabarong ini mengisyaratkan bahwa figur tersebut
hanya sekadar berjaga-jaga, tidak dalam kondisi siap untuk melawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar