Kereta Pusaka Khas Keraton Yogyakarta yang Sama Fungsinya Dengan Kereta Milik Keraton Kanoman Cirebon
Salah
satu pusaka keraton yang dapat dilihat secara terbuka oleh masyarakat umum
adalah kereta. Saat ini Keraton Yogyakarta mengoleksi 23 kereta. Kereta-kereta
tersebut hanya digunakan untuk upacara-upacara penting dan disimpan di Museum
Kereta Keraton.
Dari
sekian kereta yang ada, yang tertua adalah kereta pusaka bergelar Kanjeng Nyai
Jimat. Kereta Kanjeng Nyai Jimat dibuat di Belanda antara tahun 1740-1750.
Berdasar catatan yang ada, Kereta Kanjeng Nyai Jimat merupakan hadiah dari
Gubernur Jenderal VOC Jacob Mussel (1750-1761) kepada Sri Sultan Hamengku
Buwono I, setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Bentuk dan gaya Kereta
Kanjeng Nyai Jimat sama dengan kereta buatan Eropa. Di Eropa, kereta dengan
bentuk dan bergaya Renaissance macam itu merupakan kereta yang digunakan oleh
bangsawan kelas tertinggi atau para raja. Kereta dengan model dan bentuk yang
sama, serta dengan usia yang kurang lebih sama terdapat pula di Keraton
Kasunanan Surakarta, dengan nama Kereta Kiai Gurdo. Baik Kereta Kanjeng Nyai
Jimat maupun Kereta Gurdo masing-masing digunakan oleh Keraton Kasultanan
Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti.
Kereta
Kanjeng Nyai Jimat digunakan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) hingga
Sri Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814). Setelah itu kereta ini
“dipensiunkan” sebagai kereta kencana Sultan, namun tetap disimpan di keraton
sebagai kereta pusaka Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kereta pusaka, setiap
tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sura, Kereta Kanjeng
Nyai Jimat dikeluarkan dari Museum Keraton untuk dibersihkan. Ritual ini
disebut dengan Jamasan. Dalam setiap Jamasan, masyarakat umum yang menghadiri
upacara tersebut akan berupaya untuk mendapatkan air yang digunakan untuk
membersihkan Kereta Kanjeng Nyai Jimat. Masyarakat umum percaya bahwa air
perasan jeruk nipis dan air kembang setaman yang telah digunakan dalam Jamasan
Kereta Kanjeng Nyai Jimat membawa berkah serta dapat menyembuhkan penyakit.
Selain
Kereta Kanjeng Nyai Jimat, terdapat kereta kencana lain yang bernama Kereta
Kiai Garuda Yeksa. Kereta Kiai Garuda Yeksa bertarikh 1861, dibuat di
Amsterdam, Belanda. Kereta ini dipergunakan sejak masa Sri Sultan
Hamengkubuwono VI (1855-1877), saat ini hanya digunakan dalam prosesi penobatan
sultan. Kereta Kiai Garuda Yeksa dibuat oleh pabrik dan mempunyai model yang
sama dengan kereta kencana yang digunakan Kerajaan Belanda, yang bergelar
Gouden Koets (Kereta Emas). Gouden Koets mulai digunakan pada tahun 1899, dan
sampai sekarang masih digunakan Ratu Belanda setiap tahun untuk upacara
kebesaran.
Kereta
Kiai Garuda Yeksa adalah kereta yang ditarik delapan ekor kuda, hadiah Ratu
Wilhelmina kepada Sultan Hamengkubuwono VI. Di pintu kereta masih terlihat logo
kerajaan Belanda bersanding dengan logo Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Ornamen
hiasan berbentuk mahkota di bagian atas kereta Kiai Garuda Yeksa disepuh dengan
emas asli, yang menunjukkan wibawa dari seorang pemimpin kerajaan yang makmur
dan sejahtera. Seluruh bagian kereta beserta ornamen-ornamennya masih terjaga
keasliannya.
Pada
masa lalu, kereta-kereta ini digunakan untuk keperluan sehari-hari Sultan atau
keluarga inti Sultan. Hanya ada satu kereta yang tidak khusus digunakan untuk
Sultan atau keluarga inti Sultan, yaitu Kereta Premili. Kereta Premili mulai
digunakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dipergunakan khusus untuk
kereta pengangkut penari-penari Kasultanan Yogyakarta.
Lebih
dari separuh koleksi kereta Keraton Yogyakarta merupakan produksi dari Belanda.
Lima belas di antaranya merupakan kereta yang diperoleh oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sri Sultan Hamengku
Buwono VII memperoleh sepuluh kereta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
memperoleh lima kereta. Sisanya diperoleh dari Sri Sultan Hamengku Buwono I
(Kereta Kanjeng Nyai Jimat), Sri Sultan Hamengku Buwono III (Kereta Mandra
Juwala), Sri Sultan Hamengku Buwono IV (Kereta Kiai Jaladara dan Kereta Manik
Retna), dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Kereta Wimanaputra, Kereta Notopuro,
Kereta Harsunaba, Kereta Kiai Garuda Yeksa).
Dari
sepuluh kereta yang diperoleh Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921), delapan
diantaranya adalah buatan Spyker, Amsterdam, dengan tahun perakitan 1901.
Pabrik yang sama pada tahun 1898 membuat Kereta Emas yang digunakan oleh Ratu
Wilhelmina.
Meskipun
kebanyakan kereta diproduksi di luar negeri, namun bahan baku untuk membangun
kereta tersebut adalah bahan baku berkualitas yang diambil dari Hindia Belanda.
Kayu, karet, timah, dan logam yang digunakan untuk membangun kereta-kereta
tersebut adalah bahan-bahan yang didatangkan dari hutan dan perkebunan yang
terletak di Jawa dan Sumatera. Salah satu pendiri pabrik Spyker, Hendri Jan
Spijker, sendiri pernah tinggal untuk beberapa waktu di Hindia Belanda pada
awal abad ke-20.
Selain
produksi Belanda, sejumlah kereta adalah produksi dari Inggris dan Jerman. Ada
juga yang diproduksi oleh bengkel di Yogyakarta dan Semarang. Satu kereta dari
Inggris adalah Kereta Mandra Juwala (buatan tahun 1814, ditarik dua ekor kuda),
digunakan oleh Pangeran Diponegoro ketika menjadi wali Sri Sultan Hamengku
Buwono IV ketika berunding dengan Inggris. Satu kereta dari Jerman adalah
Kereta Kuthaka Raharja yang dibuat di Berlin tahun 1927, kereta yang ditarik
dua ekor kuda ini digunakan oleh Raden Mas Dorodjatun sebelum diangkat menjadi
Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Empat
kereta buatan dalam negeri semuanya dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII. Masing-masing kereta tersebut adalah, Kereta Kapulitin
(dirakit di Yogyakarta, 1925, kereta pesiar Sri Sultan Hamengku Buwono VIII,
kereta ditarik dua ekor kuda), Kereta Premili (dirakit di Semarang, 1921,
kereta untuk angkutan para penari kerajaan, kereta ditarik empat hingga enam
ekor kuda), Kereta Jatayu (dibuat di Yogyakarta, 1931, kereta untuk kendaraan
putri-putri Sultan, kereta ditarik empat hingga enam ekor kuda), Kereta Rata
Pralaya (dibuat di Yogyakarta, 1938, kereta untuk prosesi pemakaman, ditarik
delapan ekor kuda).
Kecuali
Kereta Kanjeng Nyai Jimat, Kiai Garuda Yeksa, Rata Pralaya, dan Premili,
kereta-kereta koleksi Kasultanan Yogyakarta adalah kereta yang difungsikan
sebagai moda transportasi harian sampai dengan tahun 1930-an. Kereta-kereta
tersebut didekasikan untuk keperluan sehari-hari Sultan dan putra-putrinya.
Setelah transportasi modern seperti mobil dan sepeda motor menjadi lebih
populer dari kereta kuda, Kasultanan Yogyakarta tidak menambah lagi koleksi
kereta kerajaan.
Salah
satu contoh penggunaan kereta kuda Kasultanan Yogyakarta sebagai bagian dari
prosesi kebudayaan, adalah prosesi kirab pernikahan putri keempat Sri Sultan
Hamengku Bawono Ka 10 pada tahun 2013. Proses tersebut menggunakan 12 kereta
kuda koleksi kerajaan untuk prosesi kirab pernikahan. Untuk menarik 12 kereta
koleksi kerajaan pada prosesi kirab pernikahan putri Sultan tersebut,
Kasultanan Yogyakarta mendatangkan tiga kavaleri pasukan berkuda milik Polri
yang bermarkas di Bandung. Kereta-kereta tersebut digunakan oleh mempelai,
keluarga Sri Sultan, keluarga besan, dan Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10
beserta permaisuri. Kereta yang digunakan dalam prosesi seperti ini adalah
kereta-kereta yang dulu berfungsi sebagai kereta pesiar untuk Sultan dan
putra-putrinya.
Seluruh
kereta-kereta tersebut setiap hari dirawat dan dibersihkan oleh para Abdi Dalem
Kanca Rata. Abdi Dalem ini pula yang akan mempersiapkan kereta-kereta tersebut
apabila hendak digunakan. Perawatan sehari-hari yang dilakukan adalah menutup
kereta dengan kain putih bersih setiap sore, dan membukanya pada pagi hari.
Setiap pagi kereta-kereta tersebut dibersihkan dari debu dan kotoran yang
menempel. Pembersihan seperti Jamasan hanya dilaksanakan setiap tahun sekali.
Renovasi seperti penggantian bagian dari kereta atau pengecatan ulang kereta
dilakukan di bengkel-bengkel yang sudah dipercaya oleh Keraton Yogyakarta.
Bengkel yang biasanya dipercaya oleh Keraton Yogyakarta tersebut terdapat di
Sleman dan di Bantul.
Sais
dan pengawal kereta pada saat prosesi upacara-upacara khusus Keraton
menggunakan seragam yang mirip dengan seragam pasukan kavaleri Eropa. Seragam
tersebut meliputi baju kurung (berwarna merah, hijau, dan hitam dengan motif
garis kuning), celana panjang (berwarna putih, merah, dan hitam), sepatu, dan
topi. Seragam ini disesuaikan dengan model kereta yang mengikuti model Eropa.
Koleksi
kereta Kasultanan Yogyakarta menunjukkan bahwa Kasultanan Yogyakarta terlibat
dalam pergaulan global, mengikuti tren yang berkembang di Eropa pada masanya.
Meskipun begitu, dalam penggunaan dan perawatannya Kasultanan Yogyakarta tidak
menanggalkan unsur-unsur dalam kebudayan Jawa yang berkaitan dengan
kepercayaan. Seperti misalnya, ritual yang dilakukan tiap kali upacara Jamasan
berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar