Kereta Kencana
Kasepuhan Cirebon Simbol Paduan Tiga Budaya
Keraton
Kasepuhan Cirebon merupakan peninggalan kerajaan di masa lalu yang hingga kini
masih dijaga kelestariannya. Sedikit demi sedikit keraton ini mulai dibenahi
untuk mempercantik serta melengkapi fasilitas yang ada. Salah satu yang masih
dilestarikan adalah kendaraan istimewa bernama Kereta Kencana Singa Barong.
Kereta
kencana itu berada di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan yang diresmikan pada Juni
2017 lalu. Seluruh benda-benda bersejarah dipindahkan ke dalam museum baru nan
modern tersebut.
Kereta
Kencana Singa Barong merupakan kendaraan yang dahulu dipakai oleh para raja dan
sultan Cirebon. Dibuat pada tahun 1549, kereta ini adalah hasil karya dari
Panembahan Losari yang kerap digunakan untuk acara Kirab 1 Muharam dan
pelantikan sultan.
Untuk
mengoperasikannya, kereta ini ditarik menggunakan tenaga empat ekor kerbau
bule. Bukan sembarang kendaraan, kereta ini memiliki keunikan dan juga filosofi
di balik bentuknya yang tidak biasa.
Jika
diperhatikan, kereta ini memiliki tiga unsur kebudayaan dan agama yang berbeda.
Raden Muhammad Hafid Permadi, Wakil Kepala Bagian Benda-benda Cagar Budaya,
menjelaskannya. Ia merupakan generasi ke tujuh dari sultan keempat.
Menurut
dia, belalainya seperti gajah, melambangkan persahabatan Cirebon dengan negara
India yang berkebudayaan dan kepercayaan Hindu. Wajahnya seperti naga, simbol
persahabatan dengan negara Tiongkok yang berkebudayaan dan kepercayaan Budha.
Sayap
dan badannya diambil dari bentuk kesenian Islam, burok, sebagai simbol
persahabatan dengan negara Mesir yang berkebudayaan dan kepercayaan serta
peradaban Islam. Maka ini gabungan dari tiga kebudayaan, tiga agama, tiga
peradaban yang menyatu.
Di
bagian atas tepatnya pada belalai, ada sebuah senjata bernama trisula. Tri
artinya tiga dan sula artinya tajam. "Maknanya adalah tiga ketajaman alat
pemikiran manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa," lanjut Hafid.
"Pernah
ada ahli kereta dunia asal Belanda yang meneliti kereta ini. Mereka bilang
bahwa kereta ini dirancang menggunakan teknologi. Dan mereka bilang kereta ini
salah satu yang tercantik dan terunik. Nenek moyang zaman dahulu mempelajari
teknologi dari tiga negara tadi, India, Tiongkok, dan Mesir," kata Hafid.
Kereta
ini terbuat dari kayu laban yang dilapisi cat dengan campuran serbuk intan dan
emas. Jadi ketika terpapar cahaya, kereta ini akan terlihat seperti
berkerlap-kerlip karena terkena pantulan.
Sayap
dan lidahnya dapat bergerak ketika kereta dijalankan. Sementara sayapnya akan
menghasilkan angin yang berhembus ke dalam kursi penumpang. Kap atau penutupnya
juga dapat dibuka sesuai keinginan.
Kereta
Kencana Singa Barong terakhir dipakai pada tahun 1942 saat terjadi perang
sekutu. Kereta ini lalu disimpan dan dilestarikan. Ada tradisi setiap Hari
Selasa benda-benda pusaka di dalam museum termasuk Kereta Kencana. Jika ingin
mengunjungi museum ini, datanglah ke Kompleks Museum Kasepuhan di Jalan
Kasepuhan, Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
Singa
Barong adalah nama kereta pusaka di Kraton Kasepuhan Cirebon, berbentuk barong,
sejenis binatang mitologis atau ajaib. Keajaiban wujudnya itu bisa dilihat dari
adanya pelbagai unsur, yang merupakan penggabungan antara singa atau macan
(tubuh, kaki, mata), gajah (berbelalai), garuda (bersayap), dan naga (mulut
yang menyeringai dengan lidah menjulur). Istilah barong itu sendiri, yang banyak
terdapat dalam kesenian di pulau Jawa dan Bali, memiliki makna “ajaib”, yaitu
seekor binatang bukan yang nyata ditemukan dalam realita kehidupan. Dalam hal
Singa Barong, pengambilan keempat jenis binatang itu mungkin terutama berdasar
pada makna kekuatan atau keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan belalai yang
melingkar ke atas keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga mata-tombak,
terdapat di kedua ujung depan dan belakang), yang menambah ekspresi atas
kekuatan dan keangkerannya.
Di
samping itu, mungkin pula wujud binatang-binatang yang tergabung dalam Singa
Barong ini bukan saja karena kekuatan fisiknya, melainkan juga karena
simbol-simbol yang bersifat spirititual. Sebagian tokoh di Kraton Kasepuhan,
memaknai garuda yang bersayap seperti burak sebagai lambang agama Islam (atau
budaya Timur-Tengah), gajah adalah lambang Budha (atau budaya India, Asia Timur
dan Asia Tenggara), dan naga adalah lambang Hindu (atau budaya Cina), dan singa
adalah lambang Protestan (atau budaya Eropa Barat). Tapi, ada pula budayawan
yang memaknainya secara lain, atau komplementer dari pendekatan alam: angin
(sayap), api (singa), bumi (gajah), dan air (naga). Lepas dari benar-tidaknya
masing-masing perlambangan tersebut, tapi semuanya memberi makna bahwa kekuatan
itu, pertama, terletak pada aspek fisik dan jiwa (roh, spirit). Kedua, demi
memaksimalkan peralihan kekuatan itu adalah dengan suatu prinsip “penggabungan”
(atau “gotong-royong” secara sosial), yang dapat diraih dengan prinsip
penerimaan, pengambilan, dan atau penyesuaian dari hal-hal yang berbeda
sekalipun—yang dalam kasus Singa Barong adalah singa, garuda, naga, dan gajah
di satu sisi, serta Islam, Hindu, Budha, dan Kristen di sisi lainnya.
Penyatuan
kekuatan-kekuatan dari beberapa binatang raksasa, yang melambangkan keperkasaan
atau keagungan raja, terdapat di banyak tempat—selain kereta itu sendiri
merupakan properti yang melambangkan kebesaran. Kraton Kanoman memiliki kereta
serupa dengan nama Paksi-Naga-Liman—yang kemudian diadopsi juga oleh kerajaan
Sumedang Larang di Pasundan, yang serupa tapi tak sama, tubuhnya bukan singa
melainkan naga. Demikian juga Kerajaan Kutai memiliki lambang serupa yang
disebut Lembu Swana, kepalanya sama mirip naga-gajah, bersayap, dan bertubuh
seperti lembu. Dalam wayang kulit Cirebon, banyak tokoh yang memiliki belalai
dengan trisula seperti Singa Barong itu, baik untuk karakter putri, satria,
ponggawa, maupun raksasa, yang dalam lakon setempat adalah para senapati dan
prajurit Alas Amer, sebuah negara-rimba yang di-babad oleh Pandawa dalam suatu
episode Mahabarata. Lambang tersebut di atas bukan hanya terdapat di Indonesia,
akan tetapi juga di Myanmar (Birma), misalnya, serupa dengan “paksi-naga-liman”
yang di antaranya dipakai sebagai hiasan rak gendang-besar (mirip rancak gong
di Jawa-Bali).
Asal-muasalnya
Singa Barong, konon menurut suatu sumber, lahir dari mimpi seorang pangeran di
Kraton Cirebon, pada abad 17, yang dalam mimpinya itu ia melihat seekor
binatang terbang di angkasa dengan badan singa, muka naga dan berbelalai.
Impian itu kemudian diwujudkan dalam bentuk kereta dan selesai dibuat pada
tahun Saka 1571, atau tahun Masehi 1649.
Konstruksi
Kereta Singa Barong jelas tampak memakai teknologi modern Barat (pada masanya):
roda, as, mur-baud, dan sebagian kerangka dari besi. Tapi, bentuk
arsitekturalnya sangatlah khas lokal. Ukiran-ukiran yang rumit dibuat sangat
halus, dengan motif-motif Cirebonan, seperti pola-pola relung bunga dan wadasan
(batu cadas) yang fraktal (tidak geometris).
Teknik
suspensinya bukan menggunakan sistem per (pegas) melainkan dari kulit,
sedemikian rupa sehingga tubuh Singa Barong itu seperti digendong dengan 4
sabuk-kulit raksasa. Sabuk yang menggendong itu memiliki sudut kemiringan yang
berdasar pada perhitungan fisika canggih, sehingga ketika kereta berjalan,
getaran dan goyangannya akan sangat minimum, sementara keseimbangan akan tetap
terjaga.
Kereta
Singa Barong, menurut cerita itu, awalnya ditarik oleh dua pasang kerbau, bukan
oleh kuda seperti pada umumnya kereta. Entah bagaimana secara persis
memfungsikannya, tapi dengan tarikan kerbau menunjukkan bahwa kereta ini bukan
sebagai kendaran angkutan yang cepat, melainkan yang kuat atau kokoh. Ia bukan
untuk menempuh jarak jauh, melainkan mungkin hanya untuk pencapaian
tempat-tempat penting dalam radius belasan atau 20-an km saja dari istana.
Dengan berjalan lambat, keagungan raja (Sultan) yang mengendarainya lebih bisa
disaksikan oleh rakyatnya.
Kini,
tentu saja, kereta ini tidak lagi dipakai sebagai kendaraan Sultan, tapi terus
tersimpan dengan baik sebagai pusaka di ruangan khusus, di museum dalam tembok
Kraton Kasepuhan. Pada tahun awal 1990-an, menjelang diselenggarakannya
Festival Kraton Nusantara di Cirebon, dibuatkan duplikatnya—bersamaan dengan
pembuatan duplikat kereta-kereta kraton lainnya: Paksi Naga Liman dari Kraton
Kanoman, dan pembuatan Pedati Gede Pekalangan yang merupakan rekonstruksi,
karena kereta tertua ini telah musnah, pembuatannya berdasar pada naskah-naskah
sejarah. Duplikat Pedati Gede Pekalangan kini disimpan di Kraton Kacirebonan.
Pada
acara kirab (pawai) Festival Kraton Nusantara akhir 26 September 2004 di
Yogyakarta, duplikat kereta Singa Barong ini turut pawai dengan ditarik
sepasang kerbau, bukan dengan oleh dua pasang seperti yang diceritakan dalam
sejarahnya. Dalam acara pembukaan Pesta Topeng Nusantara di Cirebon 16 Oktober
2010, duplikat kereta Singa Barong ini pun dipamerkan, “diarak” dari Kraton
Kasepuhan hingga halaman Balai Kota, bersamaan dengan duplikat kereta-kereta
kraton lainnya, termasuk Paksi Naga Liman, Pedati Gede Pekalangan, dan Kereta
Jempana, tapi semuanya hanya ditarik dan didorong oleh belasan pemuda, bukan
dengan kerbau, sapi, ataupun kuda.
Di
semua penampilan publik, kereta Singa Barong mendapat perhatian yang khusus,
karena wujudnya yang sangat khusus pula. Ia, seperti juga Paksi-Naga-Liman
Kanoman, seolah telah jadi ikon budaya Cirebon. Dalam ukiran kayu, lukisan
kaca, dan motif batik, Singa Barong banyak muncul. Demikian juga pada acara
pawai kampung, seperti arak-arakan untuk sidekah bumi, khitanan dan pernikahan,
Singa Barong biasa dibuat, dengan cara dan fungsinya yang berbeda-beda.
Para
peneliti Belanda pun sejak jaman kolonial telah menaruh perhatian yang besar
padanya. Beberapa uraian dan foto-foto bisa ditemukan di pelbagai sumber. Kini,
di museum Kraton Kasepuhan Cirebon, kedua kereta yang asli dan duplikat
disimpan berdampingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar