Singa Barong Kereta Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon
Singa
Barong adalah nama kereta pusaka di Kraton Kasepuhan Cirebon, berbentuk barong,
sejenis binatang mitologis atau ajaib. Keajaiban wujudnya itu bisa dilihat dari
adanya pelbagai unsur, yang merupakan penggabungan antara singa atau macan
(tubuh, kaki, mata), gajah (berbelalai), garuda (bersayap), dan naga (mulut
yang menyeringai dengan lidah menjulur). Istilah barong itu sendiri, yang
banyak terdapat dalam kesenian di pulau Jawa dan Bali, memiliki makna “ajaib”,
yaitu seekor binatang bukan yang nyata ditemukan dalam realita kehidupan. Dalam
hal Singa Barong, pengambilan keempat jenis binatang itu mungkin terutama
berdasar pada makna kekuatan atau keperkasaannya. Hal itu dipertegas dengan
belalai yang melingkar ke atas keningnya itu “memegang” senjata trisula (tiga
mata-tombak, terdapat di kedua ujung depan dan belakang), yang menambah
ekspresi atas kekuatan dan keangkerannya.
Di
samping itu, mungkin pula wujud binatang-binatang yang tergabung dalam Singa
Barong ini bukan saja karena kekuatan fisiknya, melainkan juga karena
simbol-simbol yang bersifat spirititual. Sebagian tokoh di Kraton Kasepuhan,
memaknai garuda yang bersayap seperti burak sebagai lambang agama Islam (atau
budaya Timur-Tengah), gajah adalah lambang Budha (atau budaya India, Asia Timur
dan Asia Tenggara), dan naga adalah lambang Hindu (atau budaya Cina), dan singa
adalah lambang Protestan (atau budaya Eropa Barat). Tapi, ada pula budayawan
yang memaknainya secara lain, atau komplementer dari pendekatan alam: angin
(sayap), api (singa), bumi (gajah), dan air (naga). Lepas dari benar-tidaknya
masing-masing perlambangan tersebut, tapi semuanya memberi makna bahwa kekuatan
itu, pertama, terletak pada aspek fisik dan jiwa (roh, spirit). Kedua, demi
memaksimalkan peralihan kekuatan itu adalah dengan suatu prinsip “penggabungan”
(atau “gotong-royong” secara sosial), yang dapat diraih dengan prinsip
penerimaan, pengambilan, dan atau penyesuaian dari hal-hal yang berbeda
sekalipun—yang dalam kasus Singa Barong adalah singa, garuda, naga, dan gajah
di satu sisi, serta Islam, Hindu, Budha, dan Kristen di sisi lainnya.
Penyatuan
kekuatan-kekuatan dari beberapa binatang raksasa, yang melambangkan keperkasaan
atau keagungan raja, terdapat di banyak tempat—selain kereta itu sendiri
merupakan properti yang melambangkan kebesaran. Kraton Kanoman memiliki kereta
serupa dengan nama Paksi-Naga-Liman—yang kemudian diadopsi juga oleh kerajaan
Sumedang Larang di Pasundan, yang serupa tapi tak sama, tubuhnya bukan singa
melainkan naga. Demikian juga Kerajaan Kutai memiliki lambang serupa yang
disebut Lembu Swana, kepalanya sama mirip naga-gajah, bersayap, dan bertubuh
seperti lembu. Dalam wayang kulit Cirebon, banyak tokoh yang memiliki belalai
dengan trisula seperti Singa Barong itu, baik untuk karakter putri, satria,
ponggawa, maupun raksasa, yang dalam lakon setempat adalah para senapati dan
prajurit Alas Amer, sebuah negara-rimba yang di-babad oleh Pandawa dalam suatu
episode Mahabarata. Lambang tersebut di atas bukan hanya terdapat di Indonesia,
akan tetapi juga di Myanmar (Birma), misalnya, serupa dengan “paksi-naga-liman”
yang di antaranya dipakai sebagai hiasan rak gendang-besar (mirip rancak gong
di Jawa-Bali).
Asal-muasalnya
Singa Barong, konon menurut suatu sumber, lahir dari mimpi seorang pangeran di
Kraton Cirebon, pada abad 17, yang dalam mimpinya itu ia melihat seekor
binatang terbang di angkasa dengan badan singa, muka naga dan berbelalai.
Impian itu kemudian diwujudkan dalam bentuk kereta dan selesai dibuat pada
tahun Saka 1571, atau tahun Masehi 1649.
Konstruksi
Kereta Singa Barong jelas tampak memakai teknologi modern Barat (pada masanya):
roda, as, mur-baud, dan sebagian kerangka dari besi. Tapi, bentuk
arsitekturalnya sangatlah khas lokal. Ukiran-ukiran yang rumit dibuat sangat
halus, dengan motif-motif Cirebonan, seperti pola-pola relung bunga dan wadasan
(batu cadas) yang fraktal (tidak geometris).
Teknik
suspensinya bukan menggunakan sistem per (pegas) melainkan dari kulit,
sedemikian rupa sehingga tubuh Singa Barong itu seperti digendong dengan 4
sabuk-kulit raksasa. Sabuk yang menggendong itu memiliki sudut kemiringan yang
berdasar pada perhitungan fisika canggih, sehingga ketika kereta berjalan,
getaran dan goyangannya akan sangat minimum, sementara keseimbangan akan tetap
terjaga.
Kereta
Singa Barong, menurut cerita itu, awalnya ditarik oleh dua pasang kerbau, bukan
oleh kuda seperti pada umumnya kereta. Entah bagaimana secara persis
memfungsikannya, tapi dengan tarikan kerbau menunjukkan bahwa kereta ini bukan
sebagai kendaran angkutan yang cepat, melainkan yang kuat atau kokoh. Ia bukan
untuk menempuh jarak jauh, melainkan mungkin hanya untuk pencapaian
tempat-tempat penting dalam radius belasan atau 20-an km saja dari istana.
Dengan berjalan lambat, keagungan raja (Sultan) yang mengendarainya lebih bisa
disaksikan oleh rakyatnya.
Kini,
tentu saja, kereta ini tidak lagi dipakai sebagai kendaraan Sultan, tapi terus
tersimpan dengan baik sebagai pusaka di ruangan khusus, di museum dalam tembok
Kraton Kasepuhan. Pada tahun awal 1990-an, menjelang diselenggarakannya
Festival Kraton Nusantara di Cirebon, dibuatkan duplikatnya—bersamaan dengan
pembuatan duplikat kereta-kereta kraton lainnya: Paksi Naga Liman dari Kraton
Kanoman, dan pembuatan Pedati Gede Pekalangan yang merupakan rekonstruksi,
karena kereta tertua ini telah musnah, pembuatannya berdasar pada naskah-naskah
sejarah. Duplikat Pedati Gede Pekalangan kini disimpan di Kraton Kacirebonan.
Pada
acara kirab (pawai) Festival Kraton Nusantara akhir 26 September 2004 di
Yogyakarta, duplikat kereta Singa Barong ini turut pawai dengan ditarik
sepasang kerbau, bukan dengan oleh dua pasang seperti yang diceritakan dalam
sejarahnya. Dalam acara pembukaan Pesta Topeng Nusantara di Cirebon 16 Oktober
2010, duplikat kereta Singa Barong ini pun dipamerkan, “diarak” dari Kraton
Kasepuhan hingga halaman Balai Kota, bersamaan dengan duplikat kereta-kereta
kraton lainnya, termasuk Paksi Naga Liman, Pedati Gede Pekalangan, dan Kereta
Jempana, tapi semuanya hanya ditarik dan didorong oleh belasan pemuda, bukan
dengan kerbau, sapi, ataupun kuda.
Di
semua penampilan publik, kereta Singa Barong mendapat perhatian yang khusus,
karena wujudnya yang sangat khusus pula. Ia, seperti juga Paksi-Naga-Liman
Kanoman, seolah telah jadi ikon budaya Cirebon. Dalam ukiran kayu, lukisan
kaca, dan motif batik, Singa Barong banyak muncul. Demikian juga pada acara
pawai kampung, seperti arak-arakan untuk sidekah bumi, khitanan dan pernikahan,
Singa Barong biasa dibuat, dengan cara dan fungsinya yang berbeda-beda.
Para
peneliti Belanda pun sejak jaman kolonial telah menaruh perhatian yang besar
padanya. Beberapa uraian dan foto-foto bisa ditemukan di pelbagai sumber. Kini,
di museum Kraton Kasepuhan Cirebon, kedua kereta yang asli dan duplikat
disimpan berdampingan. Hanya dengan melihatnya secara dekat kita bisa melihat
dan membandingkannya secara teliti. Perbedaan dari keduanya terletak pada dua
hal: secara fisik dan jiwa, yang tampak dan yang tak tampak. Walau bentuk
keduanya sangat mirip, sulit dibedakan karena yang baru pun tampak tua, dan
keduanya biasa diberi sesaji, tapi bagi masyarakat yang mempercayai kekuatan
kepusakaannya, lebih menaruh penghormatan pada yang asli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar