Halaman

Rabu, 18 Desember 2019

NYIRAM GONG SEKATI KERATON KANOMAN CIREBON






Para abdi dalem Kesultanan Kanoman Cirebon hari Senin (27/November/2017) sejak pagi terlihat berjalan berbondong-bondong menuju Langgar Keraton Kanoman Cirebon membawa seperangkat gamelan berusia ratusan tahun.


Perangkat gamelan dibawa untuk kemudian satu persatu diguyur air kembang sebelum dibersihkan dengan cara menggosokan serpihan halus tumbukan batu bata merah dan serat buah kelapa yang dikeringkan. Setelah logam pada gamelan digosok kemudian dibasuh menggunakan air sumur di Langgar Keraton Kanoman.


Para nayaga yang selesai membersihkan gamelan ini kemudian secara tertib berjalan satu demi satu membawa seluruh gamelan dari Langgar menuju Bangsal Sekaten di Siti Hinggil Keraton Kanoman.


Perangkat gamelan kuno yang disebut Gong Sekati ini setelah ditata rapi kemudian ditabuh pada malam harinya pukul 19.45 WIB disaksikan Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin bersama para famili Kesultanan Kanoman. Acara ini disebut “Awit Muni Gong Sekati.”


Menurut tradisinya, para nayaga akan menabuh gamelan sampai tanggal 12 Maulud pukul 17.00 WIB yang bertepatan dengan hari Sabtu 2/12/2017. Gong Sekati merupakan warisan peninggalan Kanjeng Ratu Wulung Ayu (putri Kanjeng Sunan Gunung Jati) saat menikah dengan Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus atau Adipati Unus alias Pangeran Sabrang Lor. Perangkat gamelan ini dibawa pulang oleh Kanjeng Ratu Wulung Ayu ke Cirebon saat Sultan Demak Adipati Unus wafat pada tahun 1521 Masehi.


Kanjeng Sunan Kalijaga yang merupakan murid sekaligus menantu Sunan Gunung Jati, kemudian memanfaatkan perangkat gamelan ini pada pertengahan abad ke-16 sebagai sarana syiar Islam dalam rangkaian acara tradisi Maulud Nabi Muhammad SAW.


Keraton Kanoman sengaja memilih tanggal 7 bulan Maulud sebagai waktu untuk memandikan gong disesuaikan dengan kelahiran Nabi Muhammad. *




Nyiram Gong Sekati, Tradisi Keraton Kanoman Sambut Maulid


Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat pada setiap 9 Maulud atau Rabiul Awal melakukan ritual "nyiram gong sekati" sebagai upaya untuk merawat tradisi para leluhur. "Penyucian (nyiram gong sekati, red.) ini merupakan tradisi Kesultanan Keraton Kanoman sejak dahulu," kata juru bicara Keraton Kanoman Cirebon Ratu Raja Arimbi Nurtina di Cirebon, Rabu (6/11).Ia menuturkan "nyiram gong sekati" dilakukan setiap 9 Maulud atau Rabiul Awal, di mana hal tersebut salah satu rangkaian dari prosesi memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. "Gong sekati" yang dicuci, kata Arimbi, yaitu satu rangkaian alat musik gamelan yang antara lain terdiri atas gong, demung, saron, dan peking.Rangkaian alat musik gamelan itu oleh para leluhur dari Keraton Kanoman dinamakan "Gamelan Sekaten" yang merupakan alat musik pada zaman dahulu untuk mengajak masyarakat sekitar membaca syahadat. "Gamelan Sekaten yang dicuci itumerupakan alat musik yang dahulu digunakan untuk menyiarkan agama Islam di tanah Cirebon," ujarnya.Gamelan tersebut, lanjut Arimbi, sudah berumur ratusan tahun dan sampai saat ini masih terawat serta berfungsi seperti sediakala.Pada setiap Maulud, setelah gong tersebut dicuci kemudian dibunyikan sampai malam 12 atau puncak tradisi Mauludan.


Warga Cirebon Berebut Air Bekas Cucian Gong Sekati Keraton Kanoman


Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat, menggelar tradisi "nyiram gong sekati" setiap tanggal 9 "Mulud" atau Rabiul Awal dan setelah pencucian benda pusaka itu selesai, warga dengan antusias berebut air yang digunakan untuk mencuci. Seorang warga yang berasal dari Desa Pegagan, Kabupaten Cirebon Watini (60) di Cirebon, Rabu, mengatakan setiap tahun dia selalu menyempatkan datang pada acara "nyiram gong sekati" untuk mendapatkan air bekas cucian. "Air bekas cucian gong ini banyak khasiatnya dan ini kami lakukan sudah turun menurun," kata Watini sambil mengumpulkan air bekas cucian gong sekati. Watini mempercayai air bekas cucian gong sekati ini bisa menyuburkan tanaman padinya, mengingat sebentar lagi akan masuk masa tanam, sehingga dia rela berdesakan untuk mendapatkannya. Tidak hanya untuk tanaman saja, air tersebut lanjut Watini, dipercaya bisa menyembuhkan penyakit dan dia mengaku sudah sering merasakan sendiri khasiatnya. "Selain buat tanaman, kami juga menggunakan air ini untuk dimandikan ke anak yang sakit, agar bisa sembuh," ujarnya. Senada dengan Watini, warga lain Raina (60) juga mengatakan bahwa air sisa pencucian gong biasa digunakan untuk di sawah, lahan perkebunan dan kolam ikan."Kalau saya mau taburkan ke kolam ikan, agar hasilnya nanti bisa melimpah," katanya. Juru Bicara Keraton Kanoman Cirebon Ratu Raja Arimbi Nurtina mengatakan banyaknya warga yang berebut air ini memang sudah biasa dan mereka mencari berkah dengan media air bekas cucian gong sekati."Warga mencari berkah dengan media air yang sudah dibacakan salawat dan biasanya air tersebut digunakan untuk pertanian," katanya.




Menilik Tradisi Siraman Gong Sekati di Kesultanan Keraton Kanoman



Tradisi siraman gong sekati tiap tahun selalu ada sebagai rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Lebih dari itu, siraman gong sekati bukan hanya ritual seremoni semata, tapi punya filosofi dan makna.Keraton Kanoman Cirebon, Jawa Barat pada setiap 9 Maulud atau Rabiulawal melakukan ritual "Nyiram gong sekati" sebagai upaya untuk merawat tradisi para leluhur. "Nyiram gong sekati ini merupakan tradisi Kesultanan Keraton Kanoman sejak dahulu," kata juru bicara Keraton Kanoman Cirebon Ratu Raja Arimbi Nurtina di Cirebon, Rabu (6/11/2019). Ia menuturkan "Nyiram gong sekati" dilakukan setiap 9 Maulud atau Rabiulawal, di mana hal tersebut salah satu rangkaian dari prosesi memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. "Gong sekati" yang dicuci, kata Arimbi, yaitu satu rangkaian alat musik gamelan yang antara lain terdiri atas gong, demung, saron, dan peking. Rangkaian alat musik gamelan itu oleh para leluhur dari Keraton Kanoman dinamakan "Gamelan Sekaten" yang merupakan alat musik pada zaman dahulu untuk mengajak masyarakat sekitar membaca syahadat."Gamelan Sekaten yang dicuci itu merupakan alat musik yang dahulu digunakan untuk menyiarkan agama Islam di tanah Cirebon," ujarnya. Gamelan tersebut, lanjut Arimbi, sudah berumur ratusan tahun dan sampai saat ini masih terawat serta berfungsi seperti sediakala. Pada setiap Maulud, setelah gong tersebut dicuci kemudian dibunyikan sampai malam 12 atau puncak tradisi Mauludan."'Gamelan Sekaten' dibunyikan mulai hari ini sampai nanti pas malam tanggal 12 Bulan Maulud di jam-jam yang sudah ditentukan," katanya. Rangkaian siraman gong sekati juga sebagai upaya menjaga benda pusaka yang usianya hampir 7 abad itu. Gong sekati adalah seperangkat media yang digunakan Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan ajaran agama Islam di Cirebon.Dari tradisi ini, Patih mengajak masyarakat Cirebon untuk kembali mengingat akan kesantunan dan perjuangan Sunan Gunung Jati melakukan syiar Islam melalui pendekatan seni dan budaya. “Setidaknya lewat siraman gong sekati ini, masyarakat tergugah dan bangga Cirebon punya tradisi sejak ratusan tahun lalu yang masih dijaga sampai sekarang,” terangnya. (Red)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar