Sejarah Kereta Kencana Kesultanan
Palembang
Sebagaimana lazimnya adat istiadat tradisi yang telah berlaku di
seluruh kerajaan di tanah air, bahkan dunia, sudah barang tentu memiliki serta
memanfaatkan kuda dan keretanya sebagai alat transfortasi tradisional tempo
doeloe yang sangat penting dan menjadi andalan. Termasuk pula di Keraton
Kesultanan Palembang.
Kuda merupakan binatang yang biasa
dipelihara orang baik sebagai tunggangan, angkutan, atau penarik kendaraan dan
sebagainya. Dengan berkuda semua urusan menjadi mudah dan ringan.
Kuda adalah salah satu dari puluhan
spesies modern mamalia. Hewan ini sudah lama menjadi binatang peliharaan yang
penting secara ekonomis dan historis, serta telah memegang peranan penting
dalam pengangkutan orang dan barang selama ribuan tahun. Banyak sekali
jenis-jenis kuda di belahan dunia, di antaranya: Kuda Arab, kuda Belgia, kuda
Amerika, kuda Andalusia, kuda Zebra, kuda Asia, kuda Poni dan lainnya. Di
indonesia juga dikenal beberapa jenis kuda yang memiliki postur rata-rata
tingginya 1 – 1,35 meter, misalnya: kuda Sumbawa, kuda Flores, kuda Timor, kuda
Lombok, kuda Bali, kuda Sumba, kuda Batak, kuda Sumatera dan lain-lain.
Singkatnya, kuda memainkan peran dan andil yang luas dalam kebudayaan manusia.
Dalam berbagai kebudayaan, kuda dianggap sebagai simbol kebebasan, kecerdasan
dan kekuatan, telah menjadi legenda dunia. Bahkan Rasulullah Saw pun sangat
piawai mengendarai kuda, terutama disaat peperangan, beliau Saw menjadi
panglima dan berada di barisan terdepan memimpin pasukan berkuda.
Hampir seluruh kerajaan atau keraton
di Nusantara menggunakan kuda dan keretanya sebagai alat transfortasi dan
kendaraan perlengkapan pasukan perang. Termasuk juga Kesultanan Palembang.
Dalam arsip catatan-catatan lama dan beberapa litetatur disebutkan tentang
keberadaan kuda ini di Palembang.
Menurut pengamatan seorang
orientalis Inggeris, W. Marsden (1771) yang pernah mengunjungi Palembang pada
waktu itu, dalam buku “The History of Sumatra” menyatakan:
‘Kuda Sumatera memiliki perawakan kecil, tapi memiliki postur yang bagus dan kuat. Malahan penduduk pedalaman membawa hewan ini untuk dijual dalam keadaan setengah liar.’
‘Kuda Sumatera memiliki perawakan kecil, tapi memiliki postur yang bagus dan kuat. Malahan penduduk pedalaman membawa hewan ini untuk dijual dalam keadaan setengah liar.’
Dimasa awal Kesultanan Palembang, di
era Keraton Kuto Gawang Palembang Lamo, keberadaan kuda sudah ada. Menurut
sejarahnya, dikatakan kuda Palembang ini berasal dari Arab (kuda Arab) sebagai
hadiah. Dalam buku “Penemuan Hari Jadi Kota Palembang” (1972), diceritakan:
Ketika Raja Palembang akan melangsungkan pernikahan cucu perempuannya dengan seorang Pangeran Jambi dalam tahun 1624, Palembang mendapatkan hadiah istimewa yang telah dijanjikan berupa seekor kuda Arab pilihan yang berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Kuda tersebut didatangkan langsung dari tanah Arab, berlayar sekian lama mengarungi lautan melalui Gujarat dengan kapal milik seorang Senopati. Kuda Arab tersebut akhirnya tiba di Palembang dengan selamat.
Ketika Raja Palembang akan melangsungkan pernikahan cucu perempuannya dengan seorang Pangeran Jambi dalam tahun 1624, Palembang mendapatkan hadiah istimewa yang telah dijanjikan berupa seekor kuda Arab pilihan yang berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Kuda tersebut didatangkan langsung dari tanah Arab, berlayar sekian lama mengarungi lautan melalui Gujarat dengan kapal milik seorang Senopati. Kuda Arab tersebut akhirnya tiba di Palembang dengan selamat.
Memang, kuda Arab dikenal salah satu
jenis ras kuda unggulan yang berasal dari daerah Arab. Karena posturnya yang
tinggi, ketahanan tubuh prima, kecerdasannya dan lincah, maka kuda Arab yang
istimewa ini dipakai juga untuk berperang, selain dipelihara orang untuk
berbagai keperluan.
Selain itu, menurut Djohan Hanafiah
dalam bukunya “Kuto Besak”, pada tahun 1639 Gubernur Jenderal Hindia Belanda
ada pula menghadiahkan kepada Raja Palembang waktu itu seekor kuda Persia
(Arab).
Selanjutnya di era Keraton Beringin
Janggut (1660-1737), dalam naskah Palembang, terdapat kereta kencana yang
bernama Denayu Kencana, yang diambil dari nama cucu Sultan Suhunan Abdurrahman
Candi Walang, yakni Puteri Denayu Kencana binti Pangeran Adipati bin Sultan
Abdurrahaman Candi Walang.
Sedangkan di era Keraton Kuto Besak
(1780-1823) terdapat pasukan berkuda yang terlatih. Menurut laporan Mayor
William Thorn, seorang serdadu Kerajaan Inggris yang ikut dalam ekspedisi ke
Palembang pada tahun 1812, dalam bukunya “Penaklukan Pulau Jawa”, ia melaporkan
bahwa ketika pasukan Inggeris berhasil menduduki keraton Kesultanan Palembang,
banyak sekali menyita dan merampas persenjataan di keraton Palembang, di
antaranya senjata pasukan berkuda kesultanan di barat daya sungai sebanyak 23
pucuk senjata. Dari informasi ini, kita dapat mengetahui jumlah pasukan berkuda
Kesultanan Palembang Darussalam setidaknya berjumlah 23 ekor kuda.
Pasukan berkuda dilatih khusus oleh
Sultan Mahmud Badaruddin di lapangan belakang BKB di bagian arah barat daya. Di
lokasi ini pula sebagai tempat pemeliharaan kuda serta istal-istalnya. Keraton
Palembang memiliki pula sebuah kereta kencana. Selain perahu atau kapal yang sering
digunakan sebagai sarana transfortasi sungai (laut), di daratan Sultan diantar
dengan menggunakan kereta kencana untuk bepergian dan melakukan
kegiatan-kegiatan kenegaraan.
Kereta Kencana merupakan kereta
pusaka yang berharga bagi setiap keraton atau kerajaan (kencana = emas),
sebagaimana adat tradisi keraton di Nusantara yang sudah terkenal, seperti
kereta kencana keraton Jawa di Yogyakarta, atapun kereta kencana ‘Bugi’ kereta
kencana Kerajaan Melayu Medan di awal abad ke-19.
Dalam sebuah lukisan yang
menggambarkan keberangkatan Sultan Mahmud Badaruddin bersama puteranya
diasingkan ke Ternate pada tahun 1821, terlihat jelas Sultan Palembang dihantar
menaiki kereta kuda yang kemudian dinaikkan ke kapal. Kereta kencana yang
ditarik setidaknya oleh 2 ekor kuda atau lebih.
Memang, kendati tipikal tanah
daratan di Palembang dikelilingi banyak aliran sungai dan rawa-rawa waktu itu.
Tercatat lebih dari 100 anak Sungai Musi mengalir di Kota Palembang. Kondisi
alam ini membuat Palembang menjadi kota di atas pulau-pulau kecil yang
dipisahkan oleh anak-anak sungai. Dan sebagai salah satu alat transfortasi air
pada saat itu adalah perahu atau kapal. Namun meskipun demikian, akses
jalan-jalan darat yang menghubungkan antar kampung-kampung juga ada dan
tersambung. Bahkan salah satu jalan yang terletak di pinggir Sungai Tengkuruk
dapat dilalui hingga ke daerah-daerah. Setiap sungai mempunyai jembatan
penghubung yang dapat dilalui kereta kuda dan lainnya. Lagi pula Keraton
Palembang mempunyai alun-alun yang sangat luas dimana sebuah Masjid Agung
dengan megah berdiri di atasnya.
Terakhir, dimasa kolonial, kereta
kencana Kesultanan Palembang disimpan di rumah Pangeran Bupati Astra Diningrat
Pangeran Jaksa di Guguk Kepandean 18 ilir. Pada momen-momen tertentu kereta ini
masih digunakan. Namun sayangnya rumah limas milik Pangeran Jaksa ini sekarang
sudah tidak ada lagi, dan kereta kencananyapun gaib entah kemana, wallahu
a’lam. Sedangkan sarana umum angkutan kereta kuda atau disebut ‘sado’ di Kota
Palembang masih terlihat. Setelah jaman kemerdekaan, jenis angkutan sado inipun
tidak terlihat lagi.
Karena sangat berarti dan
monumentalnya kuda Palembang ini, sehingga pemerintahan Belanda mengabadikannya
dengan membuat patung Kuda Liar dari perunggu dengan kedua kakinya ke atas,
dipancangkan di tengah-tengah bagian muka rumah Residen dalam tahun 1834 (kini
Museum SMB ll). Patung kuda liar ini seakan-akan mengisyaratkan simbol
Kesultanan Palembang yang sulit dijinakkan dan dikendalikan. Sejak tahun
1930-an patung kuda liar ini tidak ada lagi. Menurut RHM. Akib (RHAMA), rumah
Residen tersebut dibangun Belanda di atas lokasi bekas Istana Keraton
Tengkuruk, dan di halaman belakangnya terdapat istal-istal atau kandang kuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar