Filosofi silsilah dan Sejarah kesultanan
keraton kanoman Cirebon
Silsilah
·
Sultan Anom I Muhammad Badrudin
Kartawijaya
·
Sultan Anom II Pangeran Raja
Mandurareja Muhammad Qadirudin
·
Sultan Anom III Pangeran Raja
Adipati Muhammad Alimudin
·
Sultan Anom IV Pangeran Raja
Adipati Sultan Muhammad Chaeruddin
·
Sultan Anom V Pangeran Raja Abu
Soleh Muhammad Imammudin)
·
Sultan Anom VI Muhammad Kamaroedin
I
·
Sultan Anom VII Muhammad
Kamaroedin II
·
Sultan Anom VIII Pangeran Raja
Muhammad Dzulkarnaen
·
Sultan Anom IX Pangeran Raja
Adipati Muhammad Nurbuat
·
Sultan Anom X Pangeran Raja
Adipati Muhammad Nurus
·
Sultan Anom XI Pangeran Raja
Adipati Muhammad Jalalludin
·
Sultan Anom XII Pangeran Raja
Muhammad Emiruddin
·
Sultan Anom XII Pangeran Elang
Mochamad Saladin
Kesultanan Kanoman adalah suatu wilayah hasil pembagian kesultanan
Cirebon kepada ketiga orang puteranya setelah meninggalnya
.Sultan Abdul Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama
Panembahan Ratu pakungwati II pada tahun 1666, tetapi menurut naskah
Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka
jawa atau sekitar tahun 1662 m , 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram.
Putera pangeran
Girilaya masing-masing adalah Pangeran Raja Martawijaya yang kemudian
memerintah Kesultanan Kasepuhan yang berpusat di keraton Kasepuhan, Pangeran Raja
Kartawijaya yang memerintah kesultanan
Kanoman yang berpusat di keraton Kanoman dan
Pangeran Raja Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon yang bertugas dalam
hal pendidikan putra-puteri keraton, Pangeran Raja Wangsakerta bertempat
tinggal di keraton
Kasepuhan dan membantu Pangeran Raja Martawijaya memerintah
kesultanan Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.
Sejarah Kesultanan Kanoman
Kesultanan Kanoman resmi berdiri pada tahun yang sama dengan berdirinya
Kesultanan Kasepuhan yaitu pada tahun 1679 dengan pemimpin pertamanya yang
bernama Sultan Anom I Pangeran Muhammad Badrudin Kartawijaya.
·
Masuknya pengaruh Belanda
Pada tahun 1677, para pengeran (bahasa
Cirebon: Elang) dari kesultanan Cirebon yang ditawan oleh Mataram
berhasil diselamatkan oleh kesultanan
Banten dengan bantuan Trunojoyo, setelah sebelumnya pangeran Nasiruddin
yang pada masa itu menjabat sebagai wali sultan Cirebon meminta bantuan kepada
sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan
Banten untuk menyelamatkan saudaranya yang ditawan Mataram.
Pada kurun waktu itu Banten yang sedang mengalami peperangan dengan
Belanda pun dibebani tugas untuk menghindari kisruh meluas didalam keluarga
besar kesultanan Cirebon yang memang sudah terpecah
sebelumnya dalam menentukan penerus tahta kesultanan Cirebon, akhirnya sultan Ageng Tirtayasa
dari kesultanan Banten memutuskan untuk melantik
Syamsuddin (Martawijaya) sebagai sultan Sepuh, Badruddin (Kartawijaya) sebagai
sultan Anom dan Nasiruddin (Wangsakerta) sebagai Panembahan Cirebon
yang menguasai kepustakaan dan pendidikan di Cirebon utamanya para bangsawan.
Penegasan ketiganya sebagai penguasa Cirebon kemudian dilakukan di keraton
Pakungwati (kini bagian dari kompleks keraton Kasepuhan) pada tahun 1679, tetapi ternyata masalah internal keluarga besar ini
tidak selesai begitu saja yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda
yang sedang berperang dengan kesultanan
Banten untuk mengirimkan pasukannya guna menyerang Cirebon.
Pada tahun 1681, Belanda menawarkan perjanjian persahabatan kepada
kesultanan Cirebon yang pada waktu itu telah dipecah menjadi dua kesultanan
yaitu kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan
satu peguron yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta serta memaksa
mereka untuk menyetujuinya. Perjanjian persahabatan tersebut kemudian
ditandatangani oleh ketiganya sebagai para penguasa Cirebon sementara pada
perjanjian tanggal 7 Januari 1681 tersebut Belanda diwakili oleh
komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs, perjanjian persahabatan
yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon
diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula, lada serta Jati sekaligus
menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah
dibawah naungan Belanda). Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan
di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu
Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda
Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua
kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung
selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa
Cirebon: pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan
pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut
yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam
urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon. Pada tanggal 3 November 1685
(empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap
Cirebon), Belanda mengirimkan Francois de Tack. Pada akhirnya terciptalah sebuah
perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi
perjanjian tersebut diantaranya ;
“bahwa
dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di
Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah
Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di
kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing”
|
Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan
antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan
Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian
perjanjian tersebut.
Belanda kemudian kembali mengirimkan utusan untuk menyeleseikan masalah
internal di Cirebon yaitu Johanes de Hartog namun perjajian yang ditandatangani
pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di
Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.
·
Belanda dalam masalah pribawa
Pada tahun 1697
Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan
meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin
dan Pangeran Raja Arya Cirebon, atas dasar pribawa, Belanda menentukan
derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon)
ditempati oleh adik almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya
yaitu Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran
Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan
Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin
Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kaharudin berada di tempat
ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang
disebut Kacirebonan(pada era ini, kesultanan
Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh
Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)
Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin
Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu
Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua
yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin,
putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu.
Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696
sebagai tempat pendidikan agama Islam, kedua puteranya ini sepakat untuk
melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda.
Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk
verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda pada
tahun 1700 mengangkat Jacob Hiermans Palm sebagai seorang pejabat penghubung
Belanda untuk wilayah kesultanan
Cirebon, dalam bukunya sejarah cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat
bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon telah habis
sama sekali (secara politik) dengan adanya pengangkatan Jacob Hiermans Palm.
Akhirnya pada tahun 1700, setelah melakukan monopoli
dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur
memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam
hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut
dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada
perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi
ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat
penghubung Gubernur Jendral untuk wilayah Kesultanan
Cirebon, menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat sejak diangkatnya Jacob
Palm kekuasaan sultan-sultan di Cirebon dapat dikatakan habis (secara politik).
- Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon
Pada tanggal 3 November 1705,
Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa
sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan
berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat. Pada wilayah
kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku
setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh
para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706, secara perlahan aksara Sunda dan
juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari
desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon
secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi
kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya
bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah
peristiwa itu disebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar